Inkontinensia adalah kondisi dimana
seseorang tidak dapat menahan urine maupun feses dalam jumlah tertentu sehingga
menimbulkan gangguan baik dari segi kesehatan maupun sosial.
A.
Jenis-jenis
Inkontinensia
Secara
umum ada 4 penyebab pokok, yaitu:
ü gangguan
urologik: misalnya radang, batu, tumor dan divertikel.
ü gangguan
neurologik: misalnya stroke, trauma pada medula spinalis dan dementia.
ü gangguan
fungsional: misalnya hambatan pada mobilitas penderita.
ü gangguan
lingkungan: misalnya tidak tersedianya situasi berkemih yang memadai/sarana
yang terlalu jauh.1
Inkontinensia
yang terjadi akibat gangguan diatas dapat dibagi atas:
1. Inkontinensia urin akut,
biasanya bersifat reversibel. Inkontinensia ini terjadi secara mendadak dan
berkaitan dengan kondisi sakit akut maupun masalah pengobatan yang diberikan
yang akan menghilang bila kondisi akut ini teratasi ataupun obat diberhentikan
penggunaannya.
Penyebab Inkontinensia Akut
|
D
|
Delirium or acute confusional state
|
I
|
Infection,
Urinary
|
A
|
Athropic vaginitis
|
P
|
Pharmaceutical
|
P
|
Psychologic disorders : depression
|
E
|
Endocrine
disorders
|
R
|
Restricted mobility
|
S
|
Stoolilmpaction
|
Penggunaan obat seperti diuretika,
anti kolinergik, psikotropik, analgesik-narkotik, penghambat adrenergik alfa,
agonis adrenergik alfa serta calcium
channel blocker perlu diperhatikan karena memiliki efek terhadap saluran
kemih dan dapat menyebabkan tercetusnya inkontinensia akut.
2.
Inkontinensia
urin kronik/persisten
Ada dua hal yang melatarbelakangi inkontinensia kronik, yaitu kegagalan
penyimpanan urin pada kandung kemih akibat hiperaktif atau menurunnya kapasitas
kandung kemih dan kegagalan pengosongan kandung kemih akibat lemahnya otot
detrusor atau meningkatnya tahanan aliran keluar.
Inkontinensia yang menetap dibagi menjadi 4 tipe, yaitu:
a)
Inkontinensia
urgensi
Tipe ini ditandai dengan ketidakmampuan menunda berkemih. Menifestasinya
berupa seringnya berkemih dan nokturia. Kelainan ini dibagi atas dua subtipe
yaitu subtipe motorik dan sensorik. Subtipe motorik dapat disebabkan oleh lesi
pada sistem saraf pusat seperti pada penderita parkinson dan stroke, maupun
adanya lesi pada saraf supraspinal. Subtipe sensorik disebabkan oleh
hipersensitivitas kandung kemih akibat sistisis, uretritis dan diverkulitis.
b)
Inkontinensia
stress
Terjadi akibat peningkatan tekanan intraabdominal seperti batuk, bersin,
mengejan maupun tertawa yang kerapkali terjadi pada wanita yang sudah tua yang
mengalami hipermobilitas uretra dan melemahnya otot dasar panggul akibatnya
kurangnya kadar estrogen dan sering melahirkan.
c)
Inkontinensia
fungsional
Penyababnya adalah penurunan berat fungsi fisik dan kognitif sehingga
pasien tidak dapat mencapai toilet pada saat yang tepat. Ini mungkin terjadi
pada penderita demensia berat, gangguan mobilitas, neurologik dan psikologik.
d)
Inkontinensia
luber (overflow)
Keadaan dimana pengeluaran urine terjadi akibat overdistensi kandung
kemih. Dengan kata lain aktivitas kandung kemih menurun akibat kandung kemih
terlalu melebar. Inkontinensia ini umumnya diikuti dengan sering berkemih pada
malam hari dengan volume yang kecil. Umumnya sisa urine setelah berkemih
(biasanya 450 cc) dapat menjadi pembeda jenis inkontinensia ini dengan jenis
yang lainnya.
Inkontinensia ini paling jarang dijumpai. Pada inkontinensia ini terjadi
penurunan aktivitas m. detrusor akibat gangguan pada persarafan sacrum yang
merupakan persarafan bagi vesika urinaria.
Dalam kenyataannya,
keempat tipe ini saring saling bercampur pada pasien inkontinensia urin. Tipe
campuran yang jamak dijumpai adalah campuran antara inkontinensia urgensi dan
stress.2,3
B.
Patofisiologi
Secara normal proses berkemih
merupakan proses dinamik yang memerlukan rangkaian koordiansi proses fisiologik
yang berurutan. Secara umum terdapat 2 fase yaitu fase penyimpanan dan fase
pengosongan. Diperlukan keutuhan struktur dan fungsi komponen saluran kemih
bawah, kognitif, fisik, motivasi dan lingkungan.4
Ada mekanisme yang berada di luar
kendali dalam melaksanakan proses berkemih. Proses ini dikendalikan oleh sistem
saraf. Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada dibawah kendali
saraf pudendal, sedangkan otot detrusor kandung kemih dan sfingter uretra
internal berada di bawah kontrol sistem saraf otonom.
Vesika
urinaria terdiri atas 4 lapisan, yaitu lapisan serosa, lapisan otot detrusor,
lapisan submukosa dan lapisan mukosa. Saat otot detrusor berelaksasi terjadi
pengisian kandung kemih, dan bila otot ini mengalami kontraksi maka urine yang
telah tertampung didalamnya akan dikeluarkan. Proses kontraksi ini berlangsung
akibat kerja saraf parasimpatis, sedangkan penutupan sfingter vesika urinaria
agar dapat menampung urin dikerjakan oleh saraf simpatis yang dipicu oleh
noradrenalin.1,5
Mekanisme kerja
pada otot detrusor melibatkan kerja otot itu sendiri, saraf pelvis, medula
spinalis dan kontrol sistem saraf pusat yang mengontrol jalannya proses
berkemih. Pada sistem saraf pusat ada bagian yang bernama pusat sobkortikal dan
pusat kortikal. Ketika urine mulai mengisi kandung kemih, pusat subkortikal
akan bekerja agar otot-otot pada kandung kemih dapat berelaksasi sehingga dapat
berdistensi untuk menampung urin hasil proses di ginjal. Ketika pengisian ini
berlanjut akan tercapai suatu volume tertentu (biasanya 200 ml) yang memicu
pusat kortikal yang ada pada lobus frontal untuk bekerja mengurangi pasokan
urine yang masuk ke dalam kandung kemih.
Sehingga
dapat disimpulkan bahwa aktivitas relaksasi yang menyebabkan pengisian urin
ditimbulkan oleh pusat yang lebih tinggi yaitu korteks serebri atau dengan kata
lain bersifat menghambat proses miksi. Sedangkan pusat yang lebih rendah yaitu
batang otak dan saraf supra spinal memfasilitasi proses miksi dengan mendukung
proses kontraksi otot yang terjadi. Gangguan yang mungkin terjadi pada kedua
bagian otak ini yang dapat menyebabkan pengurangan kemampuan penundaan
pengeluaran urin.6
Ketika terjadi
desakan untuk berkemih, maka rangsang saraf dari daerah korteks akan disalurkan
melalui medula spinalis ke saraf pelvis. Aksi saraf parasimpatis ini akan
memicu terjadinya kontraksi. Namun kontraksi ini tidak hanya semata-mata
tergantung kepada aktivitas saraf yang bersifat kolinergik. Otot detrusor
memiliki reseptor prostaglandin. Obat-obat yang menyebabkan inhibisi pada
prostaglandin tentu saja akan mempengaruhi kontraksi m. Detrusor. Selain itu
kontaksi otot detrusor juga bergantung pada calcium-channel.
Oleh karena itu bila pemberian calcium
channel blocker seperti pada pasien hipertensi dapat menyebabkan terjadinya
gangguan kontraksi kandung kemih.4
Selain faktor dari
kandung kemih, juga harus diperhatikan sfingter uretra baik yang interna dan
eksterna. Proses kontraksi pada sfingter uretra dipengaruhi oleh aktivitas dari
adrenergik alfa. Pengobatan yang sifatnya agonis terhadap adrenergik alfa (pseudoefedrin)
dapat memperkuat kontraksi dari sfingter sehingga menahan urin secara
berkelanjutan. Sedangkan obat alpha-blocking
dapat mengganggu penutupan sfingter. Persarafan adrenergik beta dapat
menyebabkan relaksasi pada sfingter uretra. Obat yang bersifat beta-adrenergic blocking dapat
mengganggu karena menyebabkan relaksasi uretra dan melepaskan aktivitas
kontraktil adrenergik alfa.
Perlu
diperhatikan bahwa meskipun inkontinensia urin kebanyakan dialami pada lansia,
sindrom ini bukanlah kondisi yang normal pada usia lanjut. Namun dapat
dikatakan bahwa usia lanjut yang dapat menjadi faktor predesposisi (faktor
pendukung) terjadinya inkontinensia urin. Proses menua akan menyebabkan
perubahan anatomis dan fisiologis pada sistem urogenital bagian bawah. Perubahan
ini memiliki kaitan erat dengan menurunnya kadar estrogen pada wanita dan kadar
androgen pada laki-laki. Perubahan yang terjadi meliputi penumpukan fibrosis
dan kolagen pada dinding kandung kemih sehingga menyebabkan penurunan
efektivitas fungsi kontraksi dan memudahkan terbentuknya trabekula maupun
divertikula.5
Atrofi pada mukosa,
perubahan vaskularisasi pada daerah submukosa dan menipisnya lapisan otot
uretra menyebabkan penurunan pada tekanan penutupan uretra dan tekanan outflow.
Selain itu pada laki-laki terjadi pembesaran prostat dan pengecilan testis
sedangkan pada wanita terjadi penipisan dinding vagina dengan timbulnya eritema
atau ptekie, pemendekan dan penyempitan ruang vagina serta peningkatan pH
lingkungan vagina akibatnya kurangnya lubrikasi.
Melemahnya
fungsi otot dasar panggul yang disebabkan oleh berbagai macam operasi,
denervasi dan gangguan neurologik dapat menyebabkan prolaps pada kandung kemih
sehingga melemahkan tekanan akhir kemih keluar. Hal ini dapat memicu terjadinya
inkontinensia.
C.
Penatalaksanaan
Ada beberapa cara untuk menangani
pasien dengan kasus inkontinensia urin. Umumnya dapat berupa tatalaksana
farmakologis, non-farmakologis maupun pembedahan. Prinsipnya adalah penderita
inkontinensia tidak dapat ditangani hanya dengan satu modalitas terapi, tetapi
melalui serangkaian terapi yang dilakukan secara simultan.
Spektrum modalitas terapi yang dilakukan meliputi:
·
Terapi non farmakologis, yaitu:
o
Terapi suportif non-spesifik (edukasi,
manipulasi lingkungan, pakaian dan pads
tertentu)
o Intervensi tingkah laku (latihan otot dasar
panggul, latihan kandung kemih, penjadwalan berkemih)
·
Terapi medika mentosa
·
Operasi
·
Kateterisasi
Intervensi
pada tingkah laku pasien sangat memerlukan kerja sama yang baik dari pasien
tersebut. Secara umum yang dapat kita lakukan ialah meliputi edukasi pada
pasien dan pengasuhnya. Intervensi perilaku yang dapat meliputi bladder training, habit training, prompted voiding dan latihan dasar otot panggul.
Sedangkan teknik yang menggunakan alat seperti stimulasi elektrik, biofeedback
dan neuromodulasi dapat melengkapi teknik perilaku ini.2
Apa
saja intervensi tingkah laku yang dapat dilakukan? Berikut adalah daftar hal
yang dapat dilakukan dalam terapi non farmakologis ini.
a) Bladder training : merupakan suatu jenis terapi yang cukup
efektif dibanding teknik non farmakologik lainnya. Terapi ini bertujuan
memperpanjang interval berkemih yang normal sehingga hanya mencapai 6-7 kali
sehari atau 3-4 jam sekali. Pasien diharapkan dapat menahan sensasi untuk berkemih.
Misalnya awalnya interval waktu satu jam, kemudian ditingkatkan perlahan hingga
2-3 jam. Agar tidak lupa, dapat dibuat catatan harian untuk berkemih. Apabila
pasien tidak mampu lagi menahan sensasi kemihnya, maka ia diperbolehkan
berkemih sebelum waktunya namun akan dicatat dalam catatan hariannya. Sebisa
mungkin catat volume urin yang keluar pada saat miksi dan jumlah urin yang
bocor.
Fakta yang menarik ialah bila
seseorang tergoda untuk segera ke kamar kecil untuk muncul dorongan berkemih,
maka kandung kemihnya dapat terangsang dengan gerakan yang tergesa-gesa
tersebut. Latihan kandung kemih ini terbukti efektif terhadap inkontinensia
tipe stress maupun tipe urgensi.1,6
b) Latihan
dasar otot panggul : merupakan suatu jenis latihan yang dikembangkan oleh
Arnold Kegel pada tahun 1884. Berdasarkan penelitiannya, Arnold Kegel menemukan
tingkat perbaikan dan kesembuhan pada 84% subjek penelitian yaitu wanita yang
menderita inkontinensia berbagai tipe. Latihan yang dilakukan oleh Arnold Kegel
ini sekarang lebih dikenal dengan nama Senam Kegel.
Seperti yang kita ketahui bersama, otot pelvis seperti otot lainnya
dapat mengalami kelemahan akibat bertambahnya usia,. Latihan pada otot pelvis
dapat memperkuat otot-otot yang lemah di sekitar kandung kemih. Secara sederhana
latihan yang dapat dilakukan dideskripsikan mirip dengan usaha otot kita
sewaktu menahan untuk tidak flatus.
Latihan ini dapat dilakukan beberapa kali sehari dengan waktu 10 menit
untuk tiap kali latihan. Dapat dipraktikkan dimana saja, paling baik saat
berbaring di tempat tidur. Pada saat melakukan latihan, usahakan bernapas
dengan normal dan tidak menggunakan otot paha, betis dan perut. Setelah
melakukan latihan ini selama 4-6 minggu, diharapkan akan ada perbaikan kondisi
yaitu berkurangnya kebocoran urin.6
c) Latihan
untuk menahan dorongan berkemih : untuk mengurangi rasa ingin berkemih, cara ini dapat digunakan bila dorongan
tersebut muncul:
· Berdiri tenang maupun duduk diam, lebih baik
jika kaki disilangkan agar mencegah rangsang berlebihan dari kandung kemih.
·
Tarik napas teratur dan relaks.
· Kontraksikan otot dasar panggul beberapa
kali. Ini akan membantu penutupan uretra dan menenangkan kandung kemih.
·
Bila rangsang berkemih sudah menurun, jangan ke toilet sebelum tiba waktunya.
Latihan
yang ada diatas membutuhkan waktu yang cukup lama. Namun bila dilakukan dengan
sabar, hasilnya cukup memuaskan.2
Sedangkan terapi
biofeedback dapat digunakan agar pasien mampu menahan kontraksi involunter otot
detrusor dari kandung kemih. Stimulasi elektrik menggunakan kejutan kontraksi
otot pelvis dengan alat bantu pada vagina dan rektum. Neuromodulasi merupakan
terapi yang menggunakan stimulasi saraf sakral. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa neuromodulasi merupakan salah satu cara yang dapat menangani kandung
kemih yang hiperaktif dengan baik.
Terapi
yang menggunakan obat (farmakologis) merupakan terapi yang terbukti efektif
terhadap inkontinensia urin tipe stress dan urgensi. Terapi ini dapat
dilaksanakan bila upaya terapi non-farmakologis telah dilakukan namun tidak
dapat mengatasi masalah inikontinensia tersebut.2
Berikut adalah obat-obat yang dapat digunakan pada pasien dengan
inkontinensia urin:
Obat Yang Digunakan Untuk Inkontinensia Urin
|
Obat
|
Dosis
|
Tipe Inkontinensia
|
Efek Samping
|
Hyoscamin
|
3 x 0,125
mg
|
Urgensi
atau campuran
|
Mulut
kering, mata kabur, glaukoma, derilium, konstipasi
|
Tolterodin
|
2 x 4 mg
|
Urgensi atau OAB
|
Mulut kering, konstipasi
|
Imipramin
|
3 x
25-50 mg
|
Urgensi
|
Derilium,
hipotensi ortostatik
|
Pseudoephedrin
|
3 x 30-60 mg
|
Stress
|
Sakit kepala, takikardi, hipertensi
|
Topikal estrogen
|
|
Urgensi
dan Stress
|
Iritasi
lokal
|
Doxazosin
|
4 x 1-4 mg
|
BPH dengan Urgensi
|
Hipotensi postural
|
Tamsulosin
|
1 x
0,4-0,8 mg
|
|
|
Terazosin
|
4 x 1-5 mg
|
|
|
Penggunaan fenilpropanolamin sabagai
obat inkontenensia urin tipe stress sekarang telah dihentikan karena hasil uji
klinik yang menunjukkan adanya resiko stroke pasca penggunaan obat ini. Sebagai
gantinya digunakan pseudoefedrin. Namun penggunaan pseudoefedrin pun jarang
ditemukan pada usia lanjut karena adanya masalah hipertensi, aritmia jantung
dan angina.2,4
Pembedahan
merupakan langkah terakhir yang dilakukan untuk masalah inkontinensia bila
terapi secara farmakologis dan non-farmakologis tidak berhasil dilakukan.
Pembedahan yang sering dilakukan ialah berupa pemasangan kateterisasi yang
menetap. Namun penggunaan kateterisasi ini harus benar-benar dibatasi pada
indikasi yang tepat. Misalnya adanya ulkus dekubitis yang terganggu
penyembuhannya karena adanya inkontinensia urin ini. Komplikasi yang dapat timbul
sebagai efek dari penggunaan kateter ialah timbulnya batu saluran kemih, abses
ginjal bahkan proses keganasan pada saluran kemih.3
Pada laki-laki
dengan obstruksi saluran kemih akibat hipertrofi prostat dapat dilakukan
pembedahan untuk mencegah timbulnya inkontinensia tipe overflow di kemudian
hari. Selain itu, ada pula teknik pembedahan yang bertujuan melemahkan otot
detrusor misalnya dengan menggunakan pendekatan postsakral maupun paravaginal.
Teknik pembedahan ini contohnya ialah transeksi terbuka kandung kemih,
transeksi endoskopik, injeksi penol periureter dan sitolisis.7
Daftar Pustaka
1.
Martono
HH, Pranarka K. Geriatri. Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2009.h.226-41.
2. Hardman
GJ, Limbird LE, Gillman AG. Dasar farmakologi terapi. Edisi ke-10. Jakarta :
EGC; 2008; 2: h.312-23.
3. Brooks
GF, Butel JS, Ornston LN. Mikrobiologi kedokteran. Edisi ke-20. Jakarta : EGC;
2004.h.116-139.
4. Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar ilmu penyakit dalam. Edisi
ke-5.. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.865-875.
5. Brockelhurst
JC, Allen SC. Urinary incontinence. Geriatric Medicine for students 3rd
ed. London: Churchill Livingstone; 2003.h.73-91.
6. Baradero
M, Siswati Y. Asuhan keperawatan klien gangguan ginjal. Jakarta: EGC;
2009.h.92-101.
7. Departemen
Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku ajar mikrobiologi
kedokteran edisi revisi. Jakarta : Binarupa Aksara Publisher; 2009.h.107-115.