Thursday, April 3, 2014

HIV, AIDS dan Penjelasannya


Pendahuluan
       AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh secara bertahap yang disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). Penyakit ini dicirikan dengan timbulnya berbagai penyakit bakteri, jamur, parasit dan virus yang bersifat oportunistik atau keganasan seperti sarkoma kaposi dan limfoma primer di otak.1
        AIDS menarik perhatian komunitas kesehatan pertama kali pada tahun 1981 setelah terjadi kasus-kasus pneumonia (Pneumocystis carinii) dan sarkoma kaposi pada laki-laki muda homoseks di California. Bukti epidemiologik mengisyaratkan bahwa terdapat keterlibatan suatu agen infeksiosa, dan pada tahun 1983 virus imunodefisiensi manusia tipe 1 (HIV-1) diidentifikasi sebagai penyebab penyakit. AIDS adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu yang merupakan hasil akhir dari infeksi oleh HIV. Kasus AIDS sendiri mencerminkan infeksi HIV yang sudah berlangsung lama. Saat ini, AIDS dijumpai pada hampir semua negara dan merupakan suatu pandemi di seluruh dunia.2  
Maka dari itu HIV harus menjadi suatu tanda peringatan bagi para petugas kesehatan, terutama para dokter untuk memikirkan kemungkinan lebih banyaknya manusia yang  terinfeksi HIV. 
Anamnesa
Anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter dengan cara melakukan serangkaian wawancara dengan pasien atau keluarga pasien atau dalam keadaan tertentu dengan penolong pasien. Berbeda dengan wawancara biasa, anamnesis dilakukan dengan cara yang khas, berdasarkan pengetahuan tentang penyakit dan dasar-dasar pengetahuan yang ada di balik terjadinya suatu penyakit serta bertolak dari masalah yang dikeluhkan oleh pasien.3
Berdasarkan anamnesis yang baik dokter akan menentukan beberapa hal mengenai hal-hal berikut.
1.  Penyakit atau kondisi yang paling mungkin mendasari keluhan pasien (kemungkinan diagnosis).
2.   Penyakit atau kondisi lain yang menjadi kemungkinan lain penyebab munculnya keluhan pasien (diagnosis banding).3
3.  Faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan terjadinya penyakit tersebut (faktor predisposisi dan faktor risiko).3
 4.     Kemungkinan penyebab penyakit (kausa/etiologi).3
 5. Faktor-faktor yang dapat memperbaiki dan yang memperburuk keluhan pasien (faktor prognostik, termasuk upaya pengobatan).3
 6.   Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang medis yang diperlukan untuk menentukan diagnosisnya.3
Selain pengetahuan kedokterannya, seorang dokter diharapkan juga mempunyai kemampuan untuk menciptakan dan membina komunikasi dengan pasien dan keluarganya untuk mendapatkan data yang lengkap dan akurat dalam anamnesis. Lengkap artinya mencakup semua data yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis, sedangkan akurat berhubungan dengan ketepatan atau tingkat kebenaran informasi yang diperoleh.3
Pertanyaan-pertanyaan yang dilakukan dalam anamnesis meliputi:
                  Identitas pasien.3
·         Nama
·         Tempat/ tanggal lahir
·         Umur
·         Jenis kelamin
·         Alamat
·         Agama
·         Suku bangsa
·         Kewarganegaraan
·         Pendidikan
·         Pekerjaan
·         Status perkawinan   
Keluhan utama dan lamanya.3 
 Riwayat penyakit sekarang (RPS).3
·         Intensitas dan sifat demam
·         Waktu serangan demam
·         Obat yang sudah dikonsumsi dan keadaan setelah minum obat
·         Keluhan penyerta
Riwayat penyakit dahulu (RPD).3 
 Riwayat pribadi.3
·         Kebiasaan makan
·         Kebiasaan merokok, alcohol, dan penggunaan narkoba
·         Riwayat vaksinasi 
 Riwayat sosial.3
·         Lingkungan tempat tinggal
·         Kebersihan
·         Sosial ekonomi
·         Pekerjaan
Pemeriksaan Fisik4
Fisik temuan infeksi HIV adalah sebagai berikut :
·         - Konstitusi – Demam
·        -  Kepala, mata, telinga, hidung, dan tenggorokan - Kandidiasis mulut (thrush)
·        -  Leher –Limfadenopati
·         - Makulopapular ruam kulit.
Pemeriksaan penunjang4, 5
Deteksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
              Deteksi HIV merupakan langkah pertama dalam hasil pemeriksaan laboratorium. Nonquantitative deteksi HIV adalah langkah pertama dalam mendiagnosis infektivitas. Pada orang dewasa dan anak-anak yang lebih tua, immunosorbent assay enzim-linked (ELISA) dan Western blotting yang digunakan untuk mendeteksi antibodi HIV pada awalnya khusus, namun karena antibodi ibu yang hadir di dalam darah neonatal, tes ini tidak digunakan untuk diagnosis pada pasien yang lebih muda dari 2 tahun. Sebuah DNA polimerase chain reaction (PCR) atau virus kultur adalah metode pendeteksian standar pada bayi dan anak-anak muda.4
                        PCR DNA HIV digunakan untuk mendeteksi HIV-1 provirus dalam sel mononuklear dengan menggunakan oligonukleotida yang diarahkan pada daerah-daerah yang sangat lestari genom virus. Tes ini dapat dilakukan dalam waktu 24 jam dari infeksi dan memiliki sensitivitas dan spesifisitas 95% dan 97% masing-masing. Meskipun lebih sensitif dibandingkan kultur virus, kinerja diagnostik dari 2 metode yang setara. Budaya Viral diperoleh oleh co-budidaya sel mononuklear berpotensi terinfeksi dan tidak terinfeksi sama untuk mempromosikan replikasi virus. Setiap beberapa hari, budaya yang diuji untuk HIV p24 antigen. Hasil positif pada 2 sekuensial tes antigen p24 deteksi menunjukkan infeksi. Teknik ini memerlukan waktu rata-rata 7-14 hari untuk melakukan, tetapi mungkin memerlukan waktu selama 28 hari. Hasil virologi positif harus dikonfirmasi dengan tes ulang virologi dengan spesimen kedua sesegera mungkin setelah hasil pertama tersedia.5
               ELISA untuk antibodi HIV, diikuti dengan Western blot konfirmasi (yang telah meningkat spesifisitas), harus digunakan untuk mendiagnosis infeksi HIV pada anak yang lebih tua dan orang dewasa.5
               Rapid tes HIV, yang memberikan hasil dalam hitungan menit, menyederhanakan dan memperluas ketersediaan tes HIV. Sensitivitas mereka setinggi 100%, tetapi mereka harus diikuti dengan Western blotting konfirmasi atau pengujian immunofluorescence antibodi, seperti dengan tes antibodi HIV konvensional. US Food and Drug Administration (FDA) telah menyetujui 4 tes skrining cepat HIV yang tersedia secara komersial di Amerika Serikat. Sebelum FDA menyetujui tes ini, tes cepat HIV yang paling umum digunakan adalah Single-Gunakan Sistem Diagnostik yang tidak lagi tersedia.5
Hematologi
              Nilai laboratorium hematologi dapat dinilai. Tanda + limfosit jumlah CD4 adalah tanda pengganti untuk perkembangan penyakit dan harus dipantau dengan teliti. Jumlah + CD4 harus diperoleh sebelum dimulainya terapi. Penurunan cepat dalam hitungan, terutama pada bayi berusia kurang dari 1 tahun adalah tanda prognosis yang buruk dan harus ada perubahan terapi. Trombositopenia konsumtif  umum ditemukan pada anak dengan infeksi HIV dan dapat diamati pada 10% pasien di diagnosis awal. Anemia terjadi pada sebanyak 20% dari pasien pada diagnosis dan terjadi pada sebanyak 80% pasien pada beberapa waktu. Anemia dapat memiliki banyak etiologi pada orang yang terinfeksi HIV dan memerlukan hasil pemeriksaan seperti yang dijelaskan dalam Medical Care.6
               Sebuah volume corpuscular tinggi berarti (MCV) ini paling sering disebabkan oleh AZT dan dapat digunakan untuk memverifikasi kepatuhan obat lain yang juga menyebabkan MCV tinggi, serta vitamin B-12 dan kekurangan folat. Anemia terus untuk memprediksi kelangsungan hidup menurun bahkan dengan ART yang sangat aktif. Pansitopenia hasil dari kekurangan folat, penggunaan agen farmasi, dan infeksi dengan virus seperti parvovirus B19. Neutropenia yang diamati pada 10% pasien dengan infeksi HIV bergejala awal dan 50% dari pasien dengan AIDS. Noda darah bisa mengungkapkan ovalocytes besar dan polymorphonucleocytes hypersegmented dalam kasus-kasus kekurangan folat.6
Etiologi
                Luc Montagnier dkk tahun 1983 telah menemukan LAV (Lymphadenopathy Assosiated Virus) dari seseorang dengan pembengkakan kelenjar limfe (PGL). Pada tahun 1984, sejenis virus yang disebut HTVL 3 (Human T cell Lymphotropic virus tipe 3) ditemukan dari pasien AIDS di Amerika oleh Robert Gallo dkk. Kemudian ternyata bahwa kedua virus tersebut sama, dan oleh Committee Taxonomy International pada tahun 1985 disebut sebagai HIV (Human Deficiency Virus). Sampai tahun 1994 diketahui ada dua subtype yaitu HIV 1 dan HIV 2.4
                HIV 1 dan HIV 2 merupakan suatu virus RNA yang termasuk retrovirus dan lentivirus. HIV 1 penyebarannya lebih luas di hampir seluruh dunia, sedangkan HIV 2 ditemukan pada pasien-pasien dari Afrika Barat dan Portugal. HIV 2 lebih mirip dengan monkey virus yang disebut SIV (Simian Immunodeficiency Virus). Antara HIV 1 dan HIV 2 intinya mirip, tetapi selubung luarnya sangat berbeda.4
                HIV mempunyai enzim reverse transcriptase yang terdapat di dalam inti HIVdan akan mengubah RNA virus mejadi DNA, inti HIV merupakan protein yang dikenal dengan p24, dan bagian luar HIV yang berupa selubung glikoprotein terdiri dari selubung transmembran gp 41 dan bagian luar berupa tonjolan-tonjolan yang disebut gp 120. Gen yang selalu ada pada stuktur genetik virus HIV adalah gen untuk kode inti p24, dan gen yang mengkode polymerase RTase.4
Sedangkan gen yang mengkode selubung luar akan sangat bervariasi dari satu strain virus dengan yang lainnya. Bahkan pada seorang pengidap HIV, selubung luar inipun dapat berbeda-beda.4
 
Epidemiologi
               Perkiraan prevalensi HIV di kalangan dewasa muda (15-49) dapat dipandang sebagai epidemi beberapa subtipe yang terpisah; faktor utama dalam penyebaran ini transmisi seksual dan penularan dari ibu ke anak pada saat kelahiran dan melalui ASI. Meskipun baru-baru ini, peningkatan pemakaian pengobatan anti-retroviral dan perawatan di berbagai wilayah dunia, pandemi HIV-AIDS diklaim sebesar 2.100.000 pada tahun 2007 yang diperkirakan ada sebesar 330.000 anak-anak di bawah 15 tahun. Secara global, sebanyak 33.200.000 orang diperkirakan hidup dengan HIV di tahun 2007, termasuk 2.500.000 anak-anak dan mencapai 2,5 juta orang bagi yang baru terinfeksi pada 2007, didalamnya termasuk 420.000 anak-anak. Sub-Sahara Afrika menjadi daerah teratas yang terkena dampak terburuk. Tidak seperti daerah lain, kebanyakan orang yang hidup dengan HIV di sub-Sahara Afrika pada tahun 2007 adalah perempuan. Prevalensi orang dewasa pada tahun 2007 diperkirakan adalah 5,0% dan HIV-AIDS terus menjadi penyebab kematian terbesar. Selatan dan Asia Tenggara adalah terburuk kedua yang terkena dampak. Pada tahun 2007 daerah ini diperkirakan terdapat sebanyak 18% dari semua orang yang hidup dengan HIV-AIDS, dan diperkirakan ada 300.000 kasus kematian akibat HIV-AIDS. Harapan hidup telah turun secara drastis di negara-negara yang terkena dampak terburuk, misalnya, pada tahun 2006 diperkirakan bahwa hal itu turun 65-35 tahun di Botswana.4
Patofisiologi
              Patofisiologi HIV-AIDS adalah kompleks. HIV diyakini memicu HIV-AIDS oleh depleting CD4 + limfosit T helper yang melemahkan sistem kekebalan tubuh dan memungkinkan infeksi oportunistik. Limfosit T sangat penting untuk respon imun dan tanpa mereka, tubuh tidak dapat melawan infeksi atau membunuh sel kanker. Selama fase akut, HIV-induced sel pecah dan membunuh sel yang terinfeksi oleh sel T sitotoksik untuk penipisan sel T CD4 + Apoptosis (Suatu bentuk kematian sel di mana urutan peristiwa mengarah ke eliminasi sel-sel tanpa melepaskan zat berbahaya ke daerah sekitarnya) juga bisa menjadi faktor penyebab. Sedangkan selama fase kronis, konsekuensi dari aktivasi kekebalan menyeluruh ditambah dengan hilangnya secara bertahap kemampuan sistem imunitas tubuh untuk menghasilkan sel-sel T baru muncul sehingga menyebabkan penurunan lamban dalam nomor sel T CD4 +.7
              Meskipun karakteristik gejala dari defisiensi imun HIV-AIDS tidak muncul selama bertahun-tahun setelah seseorang terinfeksi, sebagian besar sel T CD4 + hilang yang terjadi selama minggu pertama infeksi, terutama di mukosa usus, yang mana tempat mayoritas muara limfosit ditemukan dalam tubuh. Respon imun yang kuat akhirnya mengendalikan infeksi dan memulai tahap laten. Namun, sel T CD4 + di jaringan mukosa tetap habis selama infeksi, walaupun tetap cukup untuk awalnya dalam melawan infeksi yang mengancam jiwa. Pembunuhan secara langsung sel T CD 4 + oleh HIV saja tidak dapat dinilai untuk pengataman deplesi sel-sel karena hanya 0,01-0,10% dari sel CD4 di dalam darah yang terinfeksi. Penyebab utama hilangnya sel T CD4 + timbul dari meningkatnya kerentanan mereka untuk apoptosis ketika sistem kekebalan tubuh tetap diaktifkan. Dengan kata lain, mereka bunuh diri. Meskipun sel T yang baru terus diproduksi oleh timus untuk menggantikan yang hilang, kapasitas regeneratif timus ini perlahan hancur oleh infeksi langsung dari thymocytes dengan HIV. Akhirnya, jumlah minimal sel CD4 yang diperlukan untuk mempertahankan respon yang memadai hilang sehingga menyebabkan HIV-AIDS.7
Diagnosa
 Working Diagnosis 
Gejala Klinis
Diagnosis HIV AIDS dapat ditegakkan berdasarkan klasifikasi klinis WHO atau CDC. Di Indonesia, diagnosis HIV AIDS untuk keperluan surveilans epidemiologi dibuat bila menunjukkan tes HIV positif dan sekurang-kurangnya didapatkan 2 gejala minor dan satu gejala mayor.7 
             Gejala Mayor7
-          Berat badan menurun lebih dari 10 % dalam 1 bulan
-          Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
-          Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
-          Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
-          Ensefalopati HIV 
 Gejala Minor7
-          Batuk menetap lebih dari 1 bulan
-          Dermatitis generalisata
-          Herpes zoster multisegmental berulang
-          Kandidiasis orofaringeal
-          Herpes simpleks kronis progresif
-          Limfadenopati
-          Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita
-          Retinitis oleh virus sitomegalo
 Differensial Diagnosis

     HEPATITIS AKUT
                                                                    

                         Gambar 1. Hepar yang terkena hepatitis akut6

Sumber: Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Aru W Sudoyo, dkk (editor). Buku ajar: ilmu penyakit dalam. Ed V. Jakarta: Pusat penerbitan departemen ilmu penyakit dalam fakultas kedokteran universitas indonesia; 2010.

Merupakan suatu proses peradangan atau infeksi sistemik yang dominan menyebabkan kematian sel hati baik melalui nekrosis maupun apoptosis (kematian sel terprogram). Hepatitis akut paling sering disebabkan oleh infeksi oleh satu dari beberapa jenis virus. Virus penyebab dapat dibedakan dengan pemeriksaan laboratorium serologis berdasarkan sifat-sifat antigeniknya, karena semua virus tersebut menimbulkan penyakit serupa secara klinis.  Hepatitis akut kadang dapat disebabkan oleh pajanan dengan obat seperti isoniazid, atau racun seperti etanol.  Ada beberapa jenis virus lain yang ditularkan pascatransfusi seperti virus hepatitis G dan virus TT telah dapat diidentifikasi akan tetapi tidak menyebabkan hepatitis.  Semua jenis virus hepatitis yang menyerang manusia merupakan virus RNA kecuali virus hepatitis B, yang merupakan virus DNA. Hepatitis virus akut merupakan suatu urutan pertama dari berbagai penyakit hati di seluruh dunia. Secara global virus hepatitis merupakan penyebab utama viremia yang persisten. Prevalensi pada hepatitits virus akut menunjukkan bahwa hepatitis A akut menempati urutan pertama (39,8%-68,3%), yang kedua oleh hepatitis C (15,5%-46,4%), sedangkan pada urutan ketiga ditempati oleh hepatitis B (6,4%-25,9%).6
Etiologi
Secara umum agen penyebab virus hepatitis dapat diklasifikasikan ke dalam dua grup yaitu hepatitis dengan transmisi secara enterik dan transmisi melaui darah.6
Transmisi Secara Enterik6
Terdiri atas virus hepatitis A (HAV) dan virus hepatitis E (HEV)
·         Virus tanpa selubung
·         Tahan terhadap cairan empedu
·         Ditemukan di tinja
·         Tidak dihubungkan dengan penyakit hati kronik
·         Tidak terjadi viremia yang berkepanjangan atau kondisi karier intestinal.
Transmisi Melalui Darah6
Terdiri atas virus hepatitis B (HBV), virus hepatitis D (HDV) dan virus hepatitis C (HCV):
·         Virus dengan selubung (envelope)
·         Rusak bila terpajan cairan empedu/detergen
·         Tidak terdapat dalam tinja
·         Dihubungkan dengan penyakit hati kronik
·         Dihubungkan dengan viremia yang persisten.

Gejala Klinis6
Gambaran klinis virus hepatitis sangat bervariasi mulai dari infeksi asimtomatik tanpa kuning sampai yang sangat berat yaitu hepatitis fulminan yang dapat menimbulkan kematian hanya dalam beberapa hari. Gejala hepatitis akut terbagi dalam 4 tahap yaitu : 

                        - Fase inkubasi
Fase inkubasi merupakan waktu antara masuknya virus sampai timbulnya gejala = atau ikterus. Fase ini berbeda-beda lamanya untuk tiap virus hepatitis. Panjang fase ini tergantung pada dosis inokulum yang ditularkan dan jalur penularan, makin besar dosis inokulum, makin pendek fase inkubasi ini.6 

- Fase prodromal (pra ikterik)
Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan pertama dan timbulnya gejala ikterus. Awitannya dapat singkat atau insidious ditandai dengan malaise umum, mialgia, atralgia, mudah lelah, gejala saluran napas atas atau anoreksia. Mual, muntah dan anoreksia berhubungan dengan perubahan penghidu dan rasa kecap. Diare atau konstipasi dapat terjadi. Serum sickness dapat muncul pada hepatitis B akut di awal infeksi. Demam derajat rendah umunya terjadi pada hepatitis A akut. Nyeri abdomen biasanya ringan dan menetap di kuadran kanan atas atau epigastrium, kadang diperberat dengan aktivitas akan tetapi jarang menimbulkan kolesistitis.6 

Fase ikterus
Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul bersamaan dengan munculnya gejala. Pada banyak kasus fase ini tidak terdeteksi. Setelah timbul ikterus jarang terjadi perburukan gejala prodromal, tetapi justru akan terjadi perbaikan klinis yang nyata.6
- Fase konvalesen (penyembuhan)
Diawali dengan menghilangnya ikterus dan keluhan lain, tetapi hepatomegali dan abnormalitas fungsi hati tetap ada. Muncul perasaan sudah lebih sehat dan kembalinya nafsu makan. Keadaan akut biasanya akan membaik  dalam 2-4 minggu. Pada Hepatitis A perbaikan klinis dan laboratorium lengkap terjadi dalam 9 minggu dan 16 minggu. Untuk hepatitis B pada 5-10 % kasus perjalanan klinisnya mungkin lebih sulit ditangani,hanya <1% yang menjadi fulminan.6
Pemeriksaan Penunjang6 

  - Pemeriksaan umum:
-          Hitung darah lengkap, hitung jenis leukosit
-          Profil pembekuan (proses pembekuan memanjang pada gagal hati)
-          Profil biokimia (tes fungsi hati, albumin, dan ureum/kreatinin)
-          Glukosa (rendah pada hepatitis fulminan).
-          Rontgen toraks (untuk menyingkarkan pneumonia, periksa apakah ada ARDS). 

Enzim
Pada keadaan hepatitis akut tanpa komplikasi, derajat kerusakan sel parenkimnya relatif ringan akan tetapi peradangan sel yang terjadi berat. Pada keadaan hepatitis akut, transaminase bisa meningkat sampai 2.000 unit/liter, sedangkan fosfatase alkali dan gamma GT hanya sedikit meningkat. Biasanya konsentrasi gamma GT lebih rendah daripada konsentrasi SGOT. Kolinesterase akan menurun sedikit pada minggu kedua dan minggu keempat untuk kemudian akan meningkat kembali pada masa penyembuhan. Menurut de Ritis perbandingan antara SGOT dan SGPT adalah < dari 0,7.6
Kalau kita melakukan pemeriksaan monitoring tiap 2 sampai4 minggu, akan terlihat bahwa gamma GT dan SGOT adalah yang paling akhir kembali menjadi normal. Kalau penurunan tidak terjadi dalam waktu 6-12 minggu, diagnosis hepatitis kronik akan ditegakkan apabila kelainan tersebut masih terjadi setelah 6 bulan. Pada hepatitis viral akut tipe kolestatik gejalanya biasaya lebih berat, dengan peningkatan bilirubin, fosfatase alkali dan gamma GT serta GLDH. Biasanya CHE juga akan menurun pada perjalanan penyakit biasanya bilirubin akan menurun lambat sekali walaupun SGOT dan SGPT sudah menurun atau menjadi normal. Apabila perjalanan penyakit memburuk dan terjadi koma hepatik, biasanya disertai oleh penurunan SGOT dan SGPT yang cepat sekali, disertai dengan peningkatan LDH. Hal ini menandakan akan adanya kerusakan parenkim hati yang berat.6 

                    Bilirubin
Uji bilirubin digunakan untuk mengukur kadar bilirubin serum, pigmen bilirubin utama. Bilirubin adalah produk utama katabolisme hemoglobin. Pengukuran kadar bilirubin serum khususnya signifikan pada neonatus karena bilirubin tidak berkonjugasi yang tinggi dapat terakumulasi di otak. Hal ini menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki. Nilai Rujukan: Pada orang dewasa, kadar bilirubin indirek serum 1,1 mg/dl, dan kadar bilirubin direk serum <0,5 mg/dl. Pada neonates antara 2 dan 12 mg/dl.8 

                     Serologi
Diagnosis mengenai jenis hepatitits merupakan hal yang penting karena akan menentukan jenis terapi yang akan diberikan. Salah satu pemeriksaan hepatitis adalah pemeriksaan serologi, dilakukan untuk mengetahui jenis virus penyebab hepatitis.6
-         Diagnosis hepatitis A6
Diagnosis hepatitis A akut berdasarkan hasil laboratorium adalah tes serologi untuk imunoglobulin M (IgM) terhadap virus hepatitis A. IgM antivirus hepatitis A positif pada saat awal gejala dan biasanya disertai dengan peningkatan kadar serum alanin (amintransferase (ALT/SGPT)). Jika telah terjadi penyembuhan, antibodi IgM akan menghilang dan akan muncul antibodi IgG. Adanya antibodi IgG menunjukkan bahwa penderita pernah terkena hepatitis A. Jika seseorang terkena hepatitis A maka pada pemeriksaan laboratorium ditemukan beberapa diagnosis berikut.6
1)               Serum IgM anti-VHA positif
2)               Kadar serum bilirubin, gammaglobulin, ALT, AST meningkat ringan.
3)               Kadar alkalin fosfatase, gammaglutamil transferase, dan total bilirubin meningkat
            pada penderita yang kuning.
-          Diagnosis Hepatitis B6
Adapun diagnosis pasti hepatitis B dapat diketahui berdasarkan pemeriksaan laboratorium.
1)           HbsAg (Antigen permukaan virus Hepatitis B) merupakan material permukaan/kulit VHB, mengandung protein yang dibuat oleh sel hati yang terinfeksi VHB. Jika hasil tes HbsAg positif artinya individu tersebut terinfeksi VHB, menderita hepatitis B akut, karier, ataupun hepatitis B kronis. HbsAg positif setelah 6 minggu terinfeksi virus hepatitis B dan menghilang dalam 3 bulan. Bila hasil menetap setelah lebih dari 6 bulan artinya hepatitis telah berkembang menjadi kronis atau karier.6
2)      Anti-HbsAg (Antibodi terhadap HbsAg) merupakan antibodi yang menunjukkan adanya antibodi terhadap VHB. Antibodi ini memberikan perlindungan terhadap penyakit hepatitis B. Jika tes anti-HbsAg positif artinya individu tersebut telah mendapat vaksin VHB, atau pernah mendapat immunoglobulin, atau juga bayi yang mendapat kekebalan tubuh dari ibunya. Anti-HbsAg yang positif pada individu yang tidak pernah mendapat imunisasi hepatitis B menunjukan individu tersebut pernah terineksi VHB.6
3)           HbeAg (antigen VHB) merupakan antigen e VHB yang berada di dalam darah. Bila positif menunjukkan virus sedang replikasi dan infeksi terus berlanjut. Apabila hasil positif menetap sampai 10 minggu akan berlanjut menjadi hepatitis B kronis. Individu yang positif HbeAg dalam keadaan infeksius dan dapat menularkan penyakitnya baik terhadap orang lain, maupun ibu ke janinnya.6
4)           Anti-Hbe (Antibodi HbeAAg) merupakan antibodi terhadap antigen HbeAg yang dibentuk oleh tubuh. Apabila anti-HbeAg positif artinya VHB dalam keadaan fase non-replikatif.6
5)           HbcAg (Antigen core (inti) VHB yang berupa protein yang dibuat dalam inti sel hati yang terinfeksi VHB. HbcAg positif menunjukkan keberadaan protein dari inti VHB.6
6)           Anti-HBc (antibodi terhadap antigen inti hepatitis B) merupakan antibodi terhadap HbcAg dan cenderung menetap sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Antibodi ini ada dua tipe yaitu IgM anti-HBc dan IgG anti-HBc. IgM anti-Hbc tinggi artinya infeksi akut, IgG anti-HBc positif dengan IgM anti-Hbc yang negatif menunjukan infeksi yang kronis atau pernah terinfeksi VHB.6
-        Diagnosis Hepatitis C
Diagnosis Hepatitis C dapat ditentukan dengan pemeriksaan serologi untuk menilai antibodi dan pemeriksaan molekuler sehingga partikel virus dapat terlihat. Sekitar 30% pasien hepatitis C tidak dijumpai anti-HCV (antibodi terhadap VHC) yang positif pada 4 minggu pertama infeksi. Sementara sekitar 60% pasien positif anti-VHC setelah 5-8 minggu terinfeksi VHC dan beberapa individu bisa positif setelah 5-12 bulan. Sekitar 80% penderita hepatitis C menjadi kronis dan pada hasil pemeriksaan laboratorium dijumpai enzim alanin aminotransferase (ALT) dan peningkatan aspartate aminotransferase (AST).6
Pemeriksaan molekuler merupakan pemeriksaan yang dapat mendeteksi RNA VHC. Tes ini ada dua jenis yaitu kualitatif dan kuantitatif. Tes kualitatif menggunakan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) dan dapat mendeteksi RNA VHC kurang dari 100 kopi per mililiter darah. Tes kualitatif dilakukan untuk konfirmasi viremia (adanya VHC dalam darah) dan juga menilai respin terapi. Selain itu tes ini juga berguna untuk pasien yang anti-HCV-nya negaif, tetapi dengan gejala klinis hepatitis yang tidak teridentifikasi jenis virus penyebabnya. Adapun tes kuantitatif sendiri terbagi atas dua metode, yakni metode dengan teknik branched-chain DNA da teknik reverse-transcription PCR. Tes kuantitatif berguna untuk menilai derajat perkembangan penyakit. Pada tes kuantitatif ini dapat diketahui derajat viremia. Biopsi (pengambilan sedikit jaringan siatu organ) dilakukan untuk mengetahui derajat dan tipe kerusakan sel-sel hati.6 

                               Radiologi
Pemeriksaan lainnya yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis adalah USG (Ultrasonografi). Fungsi USG adalah untuk mengetahui adanya kelainan pada organ dalam atau tidak. USG dilakukan terutama jika pemeriksaan fisik kurang mendukung diagnosis. Sementara keluhan klinis dari pasien dan pemeriksaan laboratorium menunjukan tanda sebaliknya. Pemeriksaan USG pada kasus hepatitis dapat memberikan informasi mengenai pembesaran hati, gambaran jaringan hati secara umum, atau ada tidaknya sumbatan saluran empedu. Ukuran hati manusia bervariasi antara satu dengan yang lainnya sehingga tekadang dokter tidak menemukan adanya pembesaran hati. USG dapat membuktikan ada tidaknya pembesaran hati, yakni dengan pengamatan tepi hati terlihat tumpul atau tidak. Tepi hati yang tumpul menunjukkan adanya pembesaran hati. USG juga dapat melihat banyak tidaknya jaringan ikat (fibrosis). Selain itu karena hepatitis merupakan proses peradangan maka pada USG densitas (kepadatan) hati terlihat lebih gelap jika dibandingkan dengan densitas ginjal yang terletak dibawahnya. Pada keadaan normal, hati dan ginjal mempunyai densitas yang sama. USG hanya dapat melihat kelainan pada hepatitis kronis atau sirosis. Pemeriksaan USG untuk hepatitis akut tidak akurat karena pada hepatitis akut, proses penyakit masih awal sehingga belum terjadi kerusakan jaringan. Pemeriksaan USG pun dapat digunakan untuk menyingkirkan diagnosis banding, yakni diagnosis lain yang mungkin terkait dengan kelainan hati misalnya tumor hati, abses hati, radang empedu, atau amubiasis hati (komplikasi infeksi amuba ke dalam hati sehingga terjadi abses hati).8
Sumber Penularan8
 
HAV
Penularan HAV dari satu individu ke individu lain melalui transmisi fecal-oral biasanya secara tidak langsung, misalnya kontaminasi makanan, atau air minum dengan kotoran. Masa inkubasi relatif pendek.8
HBV
Terjadinya transmisi HBV melalui penyakit kelamin seperti ditemukan pada kaum pria homoseksual. HBV juga dapat ditularkan memalui suntikan yang terkontaminasi yang juga digunakan pada proses pembuatan tato atau pemakaian jarum oleh obat terlarang (adiksi). Virus HBV dapat ditularkan dari ibu ke anak secara in-utero, pada saat persalinan atau kontak intim pasca kehamilan.8
 
HCV
Penularan HCV terutama melalui darah, yang paling sering ialah intravenous drug inducer. Dapat ditularkan melalui hubungan seksual atau dari ibu ke anak namun presentase kemungkinannya masih kecil.8  

- ISPA (INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT)
Penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura.9
 
Klasifikasi9
WHO (1986) telah merekomendasikan pembagian ISPA menurut derajat keparahannya. Pembagian ini dibuat berdasarkan gejala-gejala klinis yang timbul dan telah ditetapkan dalam lokakarya Nasional II ISPA tahun 1988. Adapun pembagiannya sebagai berikut :
Secara anatomis yang termasuk Infeksi saluran pernapasan akut :
1. ISPA ringan
Ditandai dengan satu atau lebih gejala berikut :
a. Batuk.
b. Pilek dengan atau tanpa demam.
2. ISPA sedang
Meliputi gejala ISPA ringan ditambah satu atau lebih gejala berikut :
a. Pernapasan cepat.
b. Wheezing (nafas menciut-ciut).
c. Sakit atau keluar cairan dari telinga.
d. Bercak kemerahan (campak).
3. ISPA berat
Meliputi gejala sedang atau ringan ditambah satu atau lebih gejala berikut :
a. Penarikan sela iga ke dalam sewaktu inspirasi.
b. Kesadaran menurun.
c. Bibir/kulit pucat kebiruan.
d. Stridor (nafas ngorok) sewaktu istirahat.
e. Adanya selaput membrane difteri.
Etiologi
Etiologi ISPA lebih dari 300 jenis bakteri, virus, dan jamur. Mayoritas penyebab ISPA adalah virus dengan frekuensi lebih dari 90% untuk ISPA bagian atas, sedangkan ISPA untuk bagian bawah frekuensinya lebih kecil. Dalam Harrison’s Principle of Internal Medicine di sebutkan bahwa penyakit infeksi saluran nafas akut bagian atas mulai dari hidung, nasofaring, sinus paranasalis sampai dengan laring hampir 90% disebabkan oleh viral, sedangkan infeksi akut saluran nafas bagian bawah hamper 50 % diakibatkan oleh bakteri streptococcus pneumonia adalah yang bertanggung jawab untuk kurang lebih 70-90%, sedangkan stafilococcus aureus dan H influenza sekitar 10-20%. Saat ini telah diketahui bahwa infeksi saluran pernapasan akut ini melibatkan lebih dari 300 tipe antigen dari bakteri maupun virus tersebut.9
Penyebaran Penyakit9
Pada ISPA, dikenal 3 cara penyebaran infeksi, yaitu :
1. Melalui areosol (partikel halus) yang lembut, terutama oleh karena batuk-batuk.
2. Melalui areosol yang lebih berat, terjadi pada waktu batuk-batuk dan bersin.
3. Melalui kontak langsung atau tidak langsung dari benda-benda yang telah dicemari oleh jasad renik.
Penatalaksanaan9
1.      Suportif :
Meningkatkan daya tahan tubuh berupa nutrisi yang adekuat, pemberian multivitamin, dll.
2.      Antibiotik :
-Idealnya berdasarkan jenis kuman penyebab.
-Utama ditujukan pada pneumonia, Influenza dan Aureus.
Penatalaksanaan
Medikamentosa2
Pengobatan antiretroviral immunodeficiency virus akut manusia (HIV) adalah kontroversial. Namun, mengobati infeksi HIV akut memiliki kelebihan beberapa teori, sebagai berikut:
·        Untuk mengobati beberapa pasien bergejala
·       Untuk berhenti evolusi virus pada saat keragaman virus minimal, sebelum adaptasi virus untuk respon imun host tertentu
·       Untuk melindungi mengembangkan respon kekebalan dari efek buruk dari HIV viremia berkelanjutan
·        Untuk mengurangi set-point virus
·        Untuk membatasi kolam laten infeksi
Beberapa studi telah menunjukkan tidak bermanfaat untuk jangka terapi antiretroviral singkat selama infeksi akut. Namun, sebuah studi retrospektif 2006 menemukan bahwa inisiasi terapi kombinasi dalam waktu 2 minggu serokonversi HIV dikaitkan dengan viral load berkelanjutan dan jumlah manfaat sel CD4 sampai 72 minggu setelah penghentian terapi. Pada tahun 2007, kelompok lain menemukan bahwa penurunan jumlah CD4 selama 3 tahun lebih lambat setelah penghentian 3 bulan ART dimulai selama infeksi akut bila dibandingkan dengan mereka yang tidak menerima terapi akut. Jumlah CD4 muncul untuk menguras waktu yang sangat cepat selama infeksi HIV akut. Dengan demikian, pengobatan untuk mencegah hilangnya sel awal mungkin tidak praktis dalam sebagian besar keadaan.2
Agen antiretroviral menghambat reverse transcriptase. Oleh karena itu, mereka menyebabkan pemutusan rantai ketika mereka dimasukkan ke dalam untai virus tumbuh. Obat antiretroviral (ISPA) digunakan dalam kombinasi untuk pengobatan human immunodeficiencyvirus (HIV) dan untuk profilaksis pasca pajanan (PPP). Agen di kelas ini adalah nucleosidereverse transcriptase inhibitor (NRTI), seperti AZT, abacavir, ddI, lamivudine, stavudine, zalcitabine; inhibitor protease seperti indinavir, nelfinavir, ritonavir, saquinavir; inhibitor reversetranscriptase nonnucleoside (NNRTI) seperti delavirdine, efavirenz, nevirapine, dan fusioninhibitor, seperti enfuvirtide. ISPA yang menghambat reverse transcriptase bertindak dengan mencegah penyebaran virus ke sel yang tidak terinfeksi, sedangkan bertindak PI selama tahap akhir dari replikasi virus, mencegah pematangan partikel virus menjadi bentuk infektif.2
Zalcitabine (Hivid) saat ini distribusinya sedang dihapus oleh produsen, dan tidak akan lagi tersedia. Amprenavir telah dihentikan, tetapi fosamprenavir sekarang tersedia. Monoterapi dengan antiretroviral yang telah gagal untuk menghasilkan manfaat klinis berkelanjutan, seperti kelangsungan hidup ditingkatkan. Kegagalan ini sebagian karena perkembangan varian yang resistan terhadap obat HIV.Perlawanan berkembang pesat selama monoterapi, dan resistansi silang antara obat terkait dilaporkan. Kombinasi terapi dengan ISPA (strategi analog dengan pengobatan TB dan penyakit menular lainnya) telah meningkatkan khasiat, diminimalisir toksisitas, dan resistensi obat tertunda.2
Terapi awal harus dimulai dengan kombinasi 3 obat-obatan, termasuk tulang punggung 2 NRTI plus NNRTI atau PI:
·         Dasar PEP 2-obat rejimen - AZT Zidovudine plus lamivudine, ditambah emtricitabine, tenofovir plus lamivudine, atau tenofovir plus emtricitabine
·         Alternatif dasar PEP rejimen – lamivudine
·         Lamivudine plus stavudine, plus ddI, emtricitabine ditambah stavudine, atau emtricitabine plus ddI
·         Expanded PEP rejimen - Dasar PEP regimen ditambah lopinavir-ritonavir
·         Alternatif diperluas rejimen PPP - Dasar rejimen PPP ditambah salah satu dari berikut:
o   Atazanavir dengan atau tanpa ritonavir
o   Fosamprenavir dengan atau tanpa ritonavir
o   Indinavir dengan atau tanpa ritonavir
o   Saquinavir dengan atau tanpa ritonavir
o   Nelfinavir
o   Efavirenz
Penggunaan nevirapine selama PEP umumnya tidak dianjurkan karena resiko ruam onset dini dan hepatotoksisitas berat.2
Nonmedikamentosa
Pendidikan bagi pasien sangat penting. Harus dijelaskan penularan penyakit ke orang lain, meminimalisir terjadinya infeksi sekunder pada pasien.2
Prognosis
Tidak ada obat untuk infeksi HIV. Sebelum kita memiliki pengobatan apapun untuk virus, penderita AIDS hidup hanya untuk beberapa tahun. Untungnya, obat telah secara substansial meningkatkan tingkat prospek dan kelangsungan hidup. Upaya pencegahan telah signifikan mengurangi infeksi HIV pada anak muda dan memiliki potensi untuk membatasi secara signifikan infeksi baru pada populasi lainnya. Obat-obatan telah memperpanjang harapan hidup, dan banyak orang yang mengidap HIV dapat berharap untuk hidup selama puluhan tahun dengan pengobatan yang tepat. Harapan hidup normal akan semakin meningkat jika mereka mengikuti pengobatan secara disiplin.
Obat-obatan membantu pemulihan sistem kekebalan tubuh pulih dan melawan infeksi dan mencegah kanker terjadi. Nantinya, virus bisa menjadi resisten terhadap obat yang tersedia, dan manifestasi AIDS bisa terjadi. Obat yang digunakan untuk mengobati HIV dan AIDS tidak menghilangkan infeksi. Hal ini penting diingat bagi pengidap HIV bahwa dia masih menularkan virus HIV bahkan setelah menerima pengobatan yang efektif.4

Komplikasi 

- Penyakit Saluran Pernapasan
Pneumocystis Carinii Pneumonia (PCP jarang dijumpai pada orang sehat yang memiliki kekebalan tubuh yang baik, tetapi umumnya dijumpai pada orang yang terinfeksi HIV. Penyebab penyakit ini adalah fungi Pneumocystis jirovecii. Sebelum adanya diagnosis, perawatan, dan tindakan pencegahan rutin yang efektif di negara-negara Barat, penyakit ini umumnya segera menyebabkan kematian. Di negara-negara berkembang, penyakit ini masih merupakan indikasi pertama AIDS pada orang-orang yang belum di tes, walaupun umumnya indikasi tersebut tidak muncul kecuali jika jumlah CD4 kurang dari 200 per µL. Tuberkulosis (TBC) merupakan infeksi unik di antara infeksi-infeksi lainnya yang terkait HIV, karena dapat ditularkan kepada orang yang sehat (imunokompeten) melalui rute pernapasan (respirasi). Ia dapat dengan mudah ditangani bila telah diidentifikasi, dapat muncul pada stadium awal HIV, serta dapat dicegah melalui terapi pengobatan. Namun demikian, resistensi TBC terhadap berbagai obat merupakan masalah potensial pada penyakit ini. Meskipun munculnya penyakit ini di negara-negara Barat telah berkurang karena digunakannya terapi dengan pengamatan langsung dan metode terbaru lainnya, namun tidaklah demikian yang terjadi di negara-negara berkembang tempat HIV paling banyak ditemukan. Pada stadium awal infeksi HIV (jumlah CD4 >300 sel per µL), TBC muncul sebagai penyakit paru-paru. Pada stadium lanjut infeksi HIV, ia sering muncul sebagai penyakit sistemik yang menyerang bagian tubuh lainnya (tuberkulosis ekstrapulmoner). Gejala-gejalanya biasanya bersifat tidak spesifik (konstitusional) dan tidak terbatasi pada satu tempat. TBC yang menyertai infeksi HIV sering menyerang sumsum tulang, tulang, saluran kemih dan saluran pencernaan, hati, kelenjar getah bening (nodus limfa regional), dan sistem syaraf  pusat.
Dengan demikian, gejala yang muncul mungkin lebih berkaitan dengan tempat munculnya penyakit ekstrapulmoner.4  

- Penyakit Saluran Pencernaan
Esofagitis adalah peradangan pada kerongkongan (esofagus), yaitu jalur makanan dari mulut ke lambung. Pada individu yang terinfeksi HIV, penyakit ini terjadi karena infeksi jamur (jamur kandidiasis) atau virus (herpes simpleks-1 atau virus sitomegalo). Ia pun dapat disebabkan oleh mikobakteria, meskipun kasusnya langka. Diare kronis yang tidak dapat dijelaskan pada infeksi HIV dapat terjadi karena berbagai penyebab; antara lain infeksi bakteri dan parasit yang umum (seperti Salmonella, Shigella, Listeria, Kampilobakter,  dan Escherichia coli), serta infeksi oportunistik yang tidak umum dan virus (seperti kriptosporidiosis,mikrosporidiosis, Mycobacterium avium complex, dan virus sitomegalo (CMV) yang merupakan penyebab kolitis). Pada beberapa kasus, diare terjadi sebagai efek samping dari obat-obatan yang digunakan untuk menangani HIV, atau efek samping dari infeksi utama (primer) dari HIV itu sendiri. Selain itu, diare dapat juga merupakan efek samping dari antibiotik yang digunakan untuk menangani bakteri diare (misalnya pada Clostridium difficile). Pada stadium akhir infeksi HIV, diare diperkirakan merupakan petunjuk terjadinya perubahan cara saluran pencernaan menyerap nutrisi, serta mungkin merupakan komponen penting dalam sistem pembuangan yang berhubungan dengan HIV.6 

- Penyakit Syaraf dan Jiwa
Infeksi HIV dapat menimbulkan beragam kelainan tingkah laku karena gangguan pada syaraf (neuropsychiatric sequelae), yang disebabkan oleh infeksi organism atas sistem syaraf yang telah menjadi rentan, atau sebagai akibat langsung dari penyakit itu sendiri. Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit bersel-satu, yang disebut Toxoplasma gondii. Parasit ini biasanya menginfeksi otak dan menyebabkan radang otak akut (toksoplasma ensefalitis), namun ia juga dapat menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada mata dan paru-paru. Meningitis kriptokokal adalah infeksi meninges (membran yang menutupi otak dan sumsum tulang belakang) oleh jamur Cryptococcus neoformans. Hal ini dapatmenyebabkan demam, sakit kepala, lelah, mual, dan muntah. Pasien juga mungkin mengalami sawan dan kebingungan, yang jika tidak ditangani dapat mematikan. Leukoensefalopati multifokal progresif adalah penyakit demielinasi, yaitu penyakit yang menghancurkan selubung syaraf (mielin) yang menutupi serabut sel syaraf (akson), sehingga merusak penghantaran impuls syaraf. Ia disebabkan oleh virus JC, yang 70% populasinya terdapat di tubuh manusia dalam kondisi laten, dan menyebabkan penyakit hanya ketika sistem kekebalan sangat lemah, sebagaimana yang terjadi pada pasien AIDS. Penyakit ini berkembang cepat (progresif) dan menyebar (multilokal), sehingga biasanya menyebabkan kematian dalam waktu sebulan setelah diagnosis. Kompleks demensia AIDS adalah penyakit penurunan kemampuan mental (demensia) yang terjadi karena menurunnya metabolisme sel otak (ensefalopati metabolik) yang disebabkan oleh infeksi HIV; dan didorong pula oleh terjadinya pengaktifan imun oleh makrofag dan mikroglia pada otak yang mengalami infeksi HIV, sehingga mengeluarkan neurotoksin. Kerusakan syaraf yang spesifik,  tampak dalam bentuk ketidaknormalan kognitif, perilaku, dan motorik, yang muncul bertahun-tahun setelah infeksi HIV terjadi. Hal ini berhubungan dengan keadaan rendahnya jumlah sel T CD4+ dan tingginya muatan virus pada plasma darah. Angka kemunculannya (prevalensi) di negara-negara Barat adalah sekitar 10-20%, namun di India hanya terjadi pada 1-2% pengidap infeksi HIV. Perbedaan ini mungkin terjadi karena adanya perbedaan subtipe HIV di India.4, 7 

- Kanker dan Tumor Ganas
Pasien dengan infeksi HIV pada dasarnya memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap terjadinya beberapa kanker. Hal ini karena infeksi oleh virus DNA penyebab mutasi genetik; yaitu terutama virus Epstein-Barr (EBV), virus herpes Sarkoma Kaposi (KSHV), dan virus papiloma manusia (HPV).6
Kesimpulan
            Telah dibahas berbagai aspek imunodefisiensi pada infeksi HIV. Infeksi HIV mempunyai target utama sel limfosit CD4 yang berfungsi sentral dalam sistem imun. Pada mulanya sistem imun dapat mengendalikan infeksi HIV, namun dengan perjalanan dari waktu ke waktu HIV akan menimbulkan penurunan jumlah sel limfosit CD4, sehingga fungsi imunitas selular terganggu. Fungsi ini dilakukan oleh sel makrofag dan CTLs (sitotoksik T Limfosit atau TC), yang teraktivasi oleh sitokin yang dilepaskan oleh limfosit CD4. Demikian juga sel NK (Natural Killer), yang berfungsi membunuh sel yang terinfeksi virus atau sel ganas secara direk nonspesifik, disamping secara spesifik membunuh sel yang dibungkus oleh antibodi melalui mekanisme antibody dependent cell mediated cytotoxicity (ADCC). Mekanisme ini tidak berjalan seperti biasa akibat HIV. Di samping itu penurunan jumlah dan fungsi sel T CD4 ini mengakibatkan terganggunya dan homeostasis dan fungsi sel lainnya dalam sistem imun humoral, yaitu sel limfosit B yang berperan dalam imunitas humoral. Terganggunya fungsi limfosit B karena diregulasi oleh sel limfosit CD4 akan menimbulkan respon imun humoral yang tidak relevan dan terbentuknya hipergammaglobulinemia. Dapat dirangkumkan, defisiensi imun akibat HIV dapat mengakibatkan terjadinya infeksi oportunistik, timbulnya reaksi autoimun, mudah terjadi reaksi hipersensitivitas terhadap obat-obat yang sering dipakai dan pertumbuhan tumor ganas sekunder, seperti Limfoma Non Hodgkin, Sarkoma Kaposi dan karsinomaserviks. Pemberian obat antiretroviral dapat meningkatkan CD4 sehingga risiko infeksi oportunistik menurun. Namun pemulihan sistem imun juga dapat menimbulkan sindrom rekonstitusi imun. Sedangkan pada disfungsi imun, perbaikan klinik tidak disertai dengan peningkatan CD4 secara nyata.
Daftar Pustaka
  1. Kennedy, Ron.  HIV AIDS. [online]. 2010. Available from: http://www.medical-library.net/hiv_aids.html,  13 November 2012.
  2. Lan, Virginia M. Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). In: Hartanto H, editor. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses ± Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC; 2006.h.224.
  3. Anamnesis. Diunduh dari www.merriam-webster.com/medical/anamnesis -, 13 November 2012.
  4. Merati, Tuti P. Respon Imun Infeksi HIV. In: Sudoyo Aru W, editor. BukuAjar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.h.545-55.
  5. Bellin, Marie F. Nervous ± System Manifestasions. [online]. 2010. Available from: http://www.medcyclopaedia.com/library/radiology/chapter28/28_2.aspx, 13 November 2012.
  6. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Aru W Sudoyo, dkk (editor). Buku ajar: Ilmu penyakit dalam. Ed V. Jakarta: Pusat penerbitan departemen ilmu penyakit dalam fakultas kedokteran universitas indonesia; 2010.h.78-95.
  7. Gillespie S, Bamford K. At the glance mikrobiologi medis dan infeksi. Edisi 3. Jakarta:  Erlangga; 2008.h.50-9.
8.      Kowalak Jennifer P, Welsh W. Buku pegangan uji diagnostic. Edisi 3. Jakarta: EGC; 2009.h.251-252.
9.      Penyakit ISPA. Diunduh dari http://id.shvoong.com/medicine-and-health/pediatrics/2049898-apa-itu-ispa/, 14 November 2012.