Tuesday, December 30, 2014

Dementia



Dementia adalah gangguan fungsi intelektual dan memori yang disebabkan oleh penyakit yang tidak berhubungan dengan tingkat kesadaran.
 
Struktur Otak dan Fungsinya
Otak terdiri dari otak besar (serebrum) dan otak kecil (cerebellum).
  • Serebrum terdiri dari dua belahan otak yaitu hemisfer kanan dan kiri.
  • Fungsi hemisfer kiri (hemisfer logika) adalah untuk pemantauan fungsi baca tulis hitung, pusat logika, teknologi, komunikasi verbal, pola fikir, analitis, linier, dan interpretasi kata literal. 
  • Sedangkan fungsi hemisfer kanan adalah untuk pengamatan dan perlindungan diri sendiri dan lingkungan, pusat intuisi dan inspirasi, mistik, komunikasi non-verbal, pola pikir holistik, spasial, musik, artistik, metafora, imaginasi, kreasi, emosional dan spiritual. 
  • Fungsi otak kecil adalah untuk memantau gerakan dan juga behubungan dengan fungsi kognitif otak besar. 
  • Otak mempunyai 10 triliun sel atau neuron.

Penderita Dementia
Pada proses menua, terjadi perubahan anatomi sel neuron dan di berbagai bagian otak. Penurunan jumlah sel atau neuron pada:
  • Girus temporal superior – bagian otak yang memantau daya ingat atau memori
  • Girus presentral – kemampuan eksekusi otak
  • Hipokampus – pusat pemantauan memori
Penurunan jumlah sel otak akan mempengaruhi penurunan fungsi otak.

Mudah Lupa
Keluhan mudah lupa yang paling banyak dialami menurut sebuah survey, yaitu:
o   Lupa menaruh barang (83%)
o   Lupa nama orang (75%)
o   Lupa bahawa telah melakukan sesuatu (58%)
o   Lupa nomor telepon yang sering digunakan (28%)
Penyebab:
o   Kelambanan berfikir
o   Kurang perhatian dan konsentrasi
o   Keadaan tergesa-gesa atau stress, cemas atau sibuk

Gangguan Kognitif Ringan (Pre-demensia, Pra-pikun)
Gejala perantara antara gejala mudah lupa dan demensia:
  • Terganggu pada aktivitas kompleks seperti berbelanja, membuat keputusan, memberi alasan.
  • Sebagian besar penyandang menyadari tentang defisit memori dan coba mengimbangi.
  •  Faktor risiko Alzheimer.
Demensia Alzheimer
Dr. Alois Alzheimer menemukan adanya kelainan di otak berupa adanya neurofibrillary tangles dan kelompok neuritic plaque (bercak saraf) di berbagai tempat di otak pada pasiennya  dengan gejala gangguan daya ingat yang berat. Autopsi otak pada semua pasien Alzheimer menemukan kelainan yang sama.
  • Gejala Penyakit Alzheimer
·         Kemunduran memori jangka pendek
·         Kemunduran kemampuan mempelajari dan mempertahankan informasi baru
·         Mengulang-ulang sesuatu dan lupa pembicaraan atau janji
·     Kemunduran dalam membuat alasan atau berfikir abstrak, sepeti kesulitan menunjuk waktu, tempat (disorientasi)
·         Kemunduran dalam perencanaan, pertimbangan dan membuat keputusan
·         Keterampilan bahasa terganggu
·         Perubahan kepribadian dan perilaku
·         Berkurangnya inisiatif

Penanganan
o   Keluhan mudah lupa: Skrining
o   Gangguan kognitif: Pemeriksaan dan assessment
o   Dementia: Diperlukan pendamping yang merawat
o   Prinsip penanganan: kurangi gejala
o   Terapi farmakologis: perasetam, gingko biloba, Vit E, cholinestrase inhibitor, anti oksidan,
     anti inflamasi, hormon estrogen
o   Terapi non farmakologis: terapi supportif (pendidikan dan pelatihan), psikoterapi dan
     rekreasi terapeutik (KISS ME)
o    Rekreasi terapeutik (KISS ME):
·         Aktivitas reminisens: bercerita peristiwa lalu–ingat+kenang+bayang+emosi
·         Aktivitas orientasi nyata: stimulasi orientasi tempat, waktu dan orang
·         Aktivitas stimulasi kognitif: pelatihan memori
·         Aktivitas fisik: Gerak Latih Otot (GLO)

Monday, August 25, 2014

Inkontinensia Urin


                 Inkontinensia adalah kondisi dimana seseorang tidak dapat menahan urine maupun feses dalam jumlah tertentu sehingga menimbulkan gangguan baik dari segi kesehatan maupun sosial.

A.   Jenis-jenis Inkontinensia
Secara umum ada 4 penyebab pokok, yaitu:
ü  gangguan urologik: misalnya radang, batu, tumor dan divertikel.
ü  gangguan neurologik: misalnya stroke, trauma pada medula spinalis dan dementia.
ü  gangguan fungsional: misalnya hambatan pada mobilitas penderita.
ü  gangguan lingkungan: misalnya tidak tersedianya situasi berkemih yang memadai/sarana
    yang terlalu jauh.1

Inkontinensia yang terjadi akibat gangguan diatas dapat dibagi atas:
1.      Inkontinensia urin akut, biasanya bersifat reversibel. Inkontinensia ini terjadi secara mendadak dan berkaitan dengan kondisi sakit akut maupun masalah pengobatan yang diberikan yang akan menghilang bila kondisi akut ini teratasi ataupun obat diberhentikan penggunaannya.
Penyebab Inkontinensia Akut
D
Delirium or acute confusional state
I 
Infection, Urinary
A
Athropic vaginitis
P
Pharmaceutical
P
Psychologic disorders : depression
E
Endocrine disorders
R
Restricted mobility
S
Stoolilmpaction

            Penggunaan obat seperti diuretika, anti kolinergik, psikotropik, analgesik-narkotik, penghambat adrenergik alfa, agonis adrenergik alfa serta calcium channel blocker perlu diperhatikan karena memiliki efek terhadap saluran kemih dan dapat menyebabkan tercetusnya inkontinensia akut.

2.      Inkontinensia urin kronik/persisten
Ada dua hal yang melatarbelakangi inkontinensia kronik, yaitu kegagalan penyimpanan urin pada kandung kemih akibat hiperaktif atau menurunnya kapasitas kandung kemih dan kegagalan pengosongan kandung kemih akibat lemahnya otot detrusor atau meningkatnya tahanan aliran keluar.
Inkontinensia yang menetap dibagi menjadi 4 tipe, yaitu:
a)      Inkontinensia urgensi
Tipe ini ditandai dengan ketidakmampuan menunda berkemih. Menifestasinya berupa seringnya berkemih dan nokturia. Kelainan ini dibagi atas dua subtipe yaitu subtipe motorik dan sensorik. Subtipe motorik dapat disebabkan oleh lesi pada sistem saraf pusat seperti pada penderita parkinson dan stroke, maupun adanya lesi pada saraf supraspinal. Subtipe sensorik disebabkan oleh hipersensitivitas kandung kemih akibat sistisis, uretritis dan diverkulitis.
b)     Inkontinensia stress
Terjadi akibat peningkatan tekanan intraabdominal seperti batuk, bersin, mengejan maupun tertawa yang kerapkali terjadi pada wanita yang sudah tua yang mengalami hipermobilitas uretra dan melemahnya otot dasar panggul akibatnya kurangnya kadar estrogen dan sering melahirkan.
c)      Inkontinensia fungsional
Penyababnya adalah penurunan berat fungsi fisik dan kognitif sehingga pasien tidak dapat mencapai toilet pada saat yang tepat. Ini mungkin terjadi pada penderita demensia berat, gangguan mobilitas, neurologik dan psikologik.
d)     Inkontinensia luber (overflow)
Keadaan dimana pengeluaran urine terjadi akibat overdistensi kandung kemih. Dengan kata lain aktivitas kandung kemih menurun akibat kandung kemih terlalu melebar. Inkontinensia ini umumnya diikuti dengan sering berkemih pada malam hari dengan volume yang kecil. Umumnya sisa urine setelah berkemih (biasanya 450 cc) dapat menjadi pembeda jenis inkontinensia ini dengan jenis yang lainnya.
Inkontinensia ini paling jarang dijumpai. Pada inkontinensia ini terjadi penurunan aktivitas m. detrusor akibat gangguan pada persarafan sacrum yang merupakan persarafan bagi vesika urinaria.

            Dalam kenyataannya, keempat tipe ini saring saling bercampur pada pasien inkontinensia urin. Tipe campuran yang jamak dijumpai adalah campuran antara inkontinensia urgensi dan stress.2,3

B.   Patofisiologi
            Secara normal proses berkemih merupakan proses dinamik yang memerlukan rangkaian koordiansi proses fisiologik yang berurutan. Secara umum terdapat 2 fase yaitu fase penyimpanan dan fase pengosongan. Diperlukan keutuhan struktur dan fungsi komponen saluran kemih bawah, kognitif, fisik, motivasi dan lingkungan.4
               Ada mekanisme yang berada di luar kendali dalam melaksanakan proses berkemih. Proses ini dikendalikan oleh sistem saraf. Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada dibawah kendali saraf pudendal, sedangkan otot detrusor kandung kemih dan sfingter uretra internal berada di bawah kontrol sistem saraf otonom.
Vesika urinaria terdiri atas 4 lapisan, yaitu lapisan serosa, lapisan otot detrusor, lapisan submukosa dan lapisan mukosa. Saat otot detrusor berelaksasi terjadi pengisian kandung kemih, dan bila otot ini mengalami kontraksi maka urine yang telah tertampung didalamnya akan dikeluarkan. Proses kontraksi ini berlangsung akibat kerja saraf parasimpatis, sedangkan penutupan sfingter vesika urinaria agar dapat menampung urin dikerjakan oleh saraf simpatis yang dipicu oleh noradrenalin.1,5
                Mekanisme kerja pada otot detrusor melibatkan kerja otot itu sendiri, saraf pelvis, medula spinalis dan kontrol sistem saraf pusat yang mengontrol jalannya proses berkemih. Pada sistem saraf pusat ada bagian yang bernama pusat sobkortikal dan pusat kortikal. Ketika urine mulai mengisi kandung kemih, pusat subkortikal akan bekerja agar otot-otot pada kandung kemih dapat berelaksasi sehingga dapat berdistensi untuk menampung urin hasil proses di ginjal. Ketika pengisian ini berlanjut akan tercapai suatu volume tertentu (biasanya 200 ml) yang memicu pusat kortikal yang ada pada lobus frontal untuk bekerja mengurangi pasokan urine yang masuk ke dalam kandung kemih.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa aktivitas relaksasi yang menyebabkan pengisian urin ditimbulkan oleh pusat yang lebih tinggi yaitu korteks serebri atau dengan kata lain bersifat menghambat proses miksi. Sedangkan pusat yang lebih rendah yaitu batang otak dan saraf supra spinal memfasilitasi proses miksi dengan mendukung proses kontraksi otot yang terjadi. Gangguan yang mungkin terjadi pada kedua bagian otak ini yang dapat menyebabkan pengurangan kemampuan penundaan pengeluaran urin.6
                    Ketika terjadi desakan untuk berkemih, maka rangsang saraf dari daerah korteks akan disalurkan melalui medula spinalis ke saraf pelvis. Aksi saraf parasimpatis ini akan memicu terjadinya kontraksi. Namun kontraksi ini tidak hanya semata-mata tergantung kepada aktivitas saraf yang bersifat kolinergik. Otot detrusor memiliki reseptor prostaglandin. Obat-obat yang menyebabkan inhibisi pada prostaglandin tentu saja akan mempengaruhi kontraksi m. Detrusor. Selain itu kontaksi otot detrusor juga bergantung pada calcium-channel. Oleh karena itu bila pemberian calcium channel blocker seperti pada pasien hipertensi dapat menyebabkan terjadinya gangguan kontraksi kandung kemih.4           
                  Selain faktor dari kandung kemih, juga harus diperhatikan sfingter uretra baik yang interna dan eksterna. Proses kontraksi pada sfingter uretra dipengaruhi oleh aktivitas dari adrenergik alfa. Pengobatan yang sifatnya agonis terhadap adrenergik alfa (pseudoefedrin) dapat memperkuat kontraksi dari sfingter sehingga menahan urin secara berkelanjutan. Sedangkan obat alpha-blocking dapat mengganggu penutupan sfingter. Persarafan adrenergik beta dapat menyebabkan relaksasi pada sfingter uretra. Obat yang bersifat beta-adrenergic blocking dapat mengganggu karena menyebabkan relaksasi uretra dan melepaskan aktivitas kontraktil adrenergik alfa.
Perlu diperhatikan bahwa meskipun inkontinensia urin kebanyakan dialami pada lansia, sindrom ini bukanlah kondisi yang normal pada usia lanjut. Namun dapat dikatakan bahwa usia lanjut yang dapat menjadi faktor predesposisi (faktor pendukung) terjadinya inkontinensia urin. Proses menua akan menyebabkan perubahan anatomis dan fisiologis pada sistem urogenital bagian bawah. Perubahan ini memiliki kaitan erat dengan menurunnya kadar estrogen pada wanita dan kadar androgen pada laki-laki. Perubahan yang terjadi meliputi penumpukan fibrosis dan kolagen pada dinding kandung kemih sehingga menyebabkan penurunan efektivitas fungsi kontraksi dan memudahkan terbentuknya trabekula maupun divertikula.5
                Atrofi pada mukosa, perubahan vaskularisasi pada daerah submukosa dan menipisnya lapisan otot uretra menyebabkan penurunan pada tekanan penutupan uretra dan tekanan outflow. Selain itu pada laki-laki terjadi pembesaran prostat dan pengecilan testis sedangkan pada wanita terjadi penipisan dinding vagina dengan timbulnya eritema atau ptekie, pemendekan dan penyempitan ruang vagina serta peningkatan pH lingkungan vagina akibatnya kurangnya lubrikasi.
Melemahnya fungsi otot dasar panggul yang disebabkan oleh berbagai macam operasi, denervasi dan gangguan neurologik dapat menyebabkan prolaps pada kandung kemih sehingga melemahkan tekanan akhir kemih keluar. Hal ini dapat memicu terjadinya inkontinensia.

C.   Penatalaksanaan
            Ada beberapa cara untuk menangani pasien dengan kasus inkontinensia urin. Umumnya dapat berupa tatalaksana farmakologis, non-farmakologis maupun pembedahan. Prinsipnya adalah penderita inkontinensia tidak dapat ditangani hanya dengan satu modalitas terapi, tetapi melalui serangkaian terapi yang dilakukan secara simultan.
Spektrum modalitas terapi yang dilakukan meliputi:
·         Terapi non farmakologis, yaitu:
o   Terapi suportif non-spesifik (edukasi, manipulasi lingkungan, pakaian dan pads tertentu)
o  Intervensi tingkah laku (latihan otot dasar panggul, latihan kandung kemih, penjadwalan berkemih)
·         Terapi medika mentosa
·         Operasi
·         Kateterisasi

Intervensi pada tingkah laku pasien sangat memerlukan kerja sama yang baik dari pasien tersebut. Secara umum yang dapat kita lakukan ialah meliputi edukasi pada pasien dan pengasuhnya. Intervensi perilaku yang dapat meliputi bladder training, habit training, prompted voiding dan latihan dasar otot panggul. Sedangkan teknik yang menggunakan alat seperti stimulasi elektrik, biofeedback dan neuromodulasi dapat melengkapi teknik perilaku ini.2
Apa saja intervensi tingkah laku yang dapat dilakukan? Berikut adalah daftar hal yang dapat dilakukan dalam terapi non farmakologis ini.

a)      Bladder training : merupakan suatu jenis terapi yang cukup efektif dibanding teknik non farmakologik lainnya. Terapi ini bertujuan memperpanjang interval berkemih yang normal sehingga hanya mencapai 6-7 kali sehari atau 3-4 jam sekali. Pasien diharapkan dapat menahan sensasi untuk berkemih. Misalnya awalnya interval waktu satu jam, kemudian ditingkatkan perlahan hingga 2-3 jam. Agar tidak lupa, dapat dibuat catatan harian untuk berkemih. Apabila pasien tidak mampu lagi menahan sensasi kemihnya, maka ia diperbolehkan berkemih sebelum waktunya namun akan dicatat dalam catatan hariannya. Sebisa mungkin catat volume urin yang keluar pada saat miksi dan jumlah urin yang bocor.
Fakta yang menarik  ialah bila seseorang tergoda untuk segera ke kamar kecil untuk muncul dorongan berkemih, maka kandung kemihnya dapat terangsang dengan gerakan yang tergesa-gesa tersebut. Latihan kandung kemih ini terbukti efektif terhadap inkontinensia tipe stress maupun tipe urgensi.1,6

b)      Latihan dasar otot panggul : merupakan suatu jenis latihan yang dikembangkan oleh Arnold Kegel pada tahun 1884. Berdasarkan penelitiannya, Arnold Kegel menemukan tingkat perbaikan dan kesembuhan pada 84% subjek penelitian yaitu wanita yang menderita inkontinensia berbagai tipe. Latihan yang dilakukan oleh Arnold Kegel ini sekarang lebih dikenal dengan nama Senam Kegel.
Seperti yang kita ketahui bersama, otot pelvis seperti otot lainnya dapat mengalami kelemahan akibat bertambahnya usia,. Latihan pada otot pelvis dapat memperkuat otot-otot yang lemah di sekitar kandung kemih. Secara sederhana latihan yang dapat dilakukan dideskripsikan mirip dengan usaha otot kita sewaktu menahan untuk tidak flatus.
Latihan ini dapat dilakukan beberapa kali sehari dengan waktu 10 menit untuk tiap kali latihan. Dapat dipraktikkan dimana saja, paling baik saat berbaring di tempat tidur. Pada saat melakukan latihan, usahakan bernapas dengan normal dan tidak menggunakan otot paha, betis dan perut. Setelah melakukan latihan ini selama 4-6 minggu, diharapkan akan ada perbaikan kondisi yaitu berkurangnya kebocoran urin.6

c)      Latihan untuk menahan dorongan berkemih : untuk mengurangi rasa ingin berkemih,  cara ini dapat digunakan bila dorongan tersebut muncul:
·    Berdiri tenang maupun duduk diam, lebih baik jika kaki disilangkan agar mencegah rangsang berlebihan dari kandung kemih.
·         Tarik napas teratur dan relaks.
·       Kontraksikan otot dasar panggul beberapa kali. Ini akan membantu penutupan uretra dan menenangkan kandung kemih.
·         Bila rangsang berkemih sudah menurun,  jangan ke toilet sebelum tiba waktunya.
Latihan yang ada diatas membutuhkan waktu yang cukup lama. Namun bila dilakukan dengan sabar, hasilnya cukup memuaskan.2
                Sedangkan terapi biofeedback dapat digunakan agar pasien mampu menahan kontraksi involunter otot detrusor dari kandung kemih. Stimulasi elektrik menggunakan kejutan kontraksi otot pelvis dengan alat bantu pada vagina dan rektum. Neuromodulasi merupakan terapi yang menggunakan stimulasi saraf sakral. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa neuromodulasi merupakan salah satu cara yang dapat menangani kandung kemih yang hiperaktif dengan baik.
Terapi yang menggunakan obat (farmakologis) merupakan terapi yang terbukti efektif terhadap inkontinensia urin tipe stress dan urgensi. Terapi ini dapat dilaksanakan bila upaya terapi non-farmakologis telah dilakukan namun tidak dapat mengatasi masalah inikontinensia tersebut.2

Berikut adalah obat-obat yang dapat digunakan pada pasien dengan inkontinensia urin:
Obat Yang Digunakan Untuk Inkontinensia Urin
Obat
Dosis
Tipe Inkontinensia
Efek Samping
Hyoscamin
3 x 0,125 mg
Urgensi atau campuran
Mulut kering, mata kabur, glaukoma, derilium, konstipasi
Tolterodin
2 x 4 mg
Urgensi atau OAB
Mulut kering, konstipasi
Imipramin
3 x 25-50 mg
Urgensi
Derilium, hipotensi ortostatik
Pseudoephedrin
3 x 30-60 mg
Stress
Sakit kepala, takikardi, hipertensi
Topikal estrogen

Urgensi dan Stress
Iritasi lokal
Doxazosin
4 x 1-4 mg
BPH dengan Urgensi
Hipotensi postural
Tamsulosin
1 x 0,4-0,8 mg


Terazosin
4 x 1-5 mg



            Penggunaan fenilpropanolamin sabagai obat inkontenensia urin tipe stress sekarang telah dihentikan karena hasil uji klinik yang menunjukkan adanya resiko stroke pasca penggunaan obat ini. Sebagai gantinya digunakan pseudoefedrin. Namun penggunaan pseudoefedrin pun jarang ditemukan pada usia lanjut karena adanya masalah hipertensi, aritmia jantung dan angina.2,4
                Pembedahan merupakan langkah terakhir yang dilakukan untuk masalah inkontinensia bila terapi secara farmakologis dan non-farmakologis tidak berhasil dilakukan. Pembedahan yang sering dilakukan ialah berupa pemasangan kateterisasi yang menetap. Namun penggunaan kateterisasi ini harus benar-benar dibatasi pada indikasi yang tepat. Misalnya adanya ulkus dekubitis yang terganggu penyembuhannya karena adanya inkontinensia urin ini. Komplikasi yang dapat timbul sebagai efek dari penggunaan kateter ialah timbulnya batu saluran kemih, abses ginjal bahkan proses keganasan pada saluran kemih.3
                Pada laki-laki dengan obstruksi saluran kemih akibat hipertrofi prostat dapat dilakukan pembedahan untuk mencegah timbulnya inkontinensia tipe overflow di kemudian hari. Selain itu, ada pula teknik pembedahan yang bertujuan melemahkan otot detrusor misalnya dengan menggunakan pendekatan postsakral maupun paravaginal. Teknik pembedahan ini contohnya ialah transeksi terbuka kandung kemih, transeksi endoskopik, injeksi penol periureter dan sitolisis.7

Daftar Pustaka
1.      Martono HH, Pranarka K. Geriatri. Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009.h.226-41.
2.    Hardman GJ, Limbird LE, Gillman AG. Dasar farmakologi terapi. Edisi ke-10. Jakarta : EGC; 2008; 2: h.312-23.
3.  Brooks GF, Butel JS, Ornston LN. Mikrobiologi kedokteran. Edisi ke-20. Jakarta : EGC; 2004.h.116-139.
4.     Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5.. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.865-875.
5.    Brockelhurst JC, Allen SC. Urinary incontinence. Geriatric Medicine for students 3rd ed. London: Churchill Livingstone; 2003.h.73-91.
6.   Baradero M, Siswati Y. Asuhan keperawatan klien gangguan ginjal. Jakarta: EGC; 2009.h.92-101.
7. Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku ajar mikrobiologi kedokteran edisi revisi. Jakarta : Binarupa Aksara Publisher; 2009.h.107-115.