Pendahuluan
Di seluruh
dunia berjuta orang pasti pernah mengalami masalah terhadap sendi dan tulangnya,
masalah ini biasa dikenal dengan nama Arthritis yang merupakan peradangan pada
sendi-sendi yang disertai dengan tanda inflamasi yang komplit. Terdapat berbagai
jenis arthritis, yang paling sering
dijumpai adalah rheumatoid arthritis dan osteoarthritis. Secara ringkas
rheumatoid arthritis adalah penyakit autoimun yang biasanya terdapat pada
sendi-sendi di bagian jari-jemari dan pergelangan tangan. Sendi-sendi lain yang
bisa juga terkena penyakit ini adalah bagian bahu, lutut dan kaki.
Rheumatoid arthritis memiliki etiologi, epidemiologi,
patofisiologi tersendiri. Begitu juga dengan perawatan dan pencegahannya. Oleh karena
itu, dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut tentang rheumatoid arthritis
untuk meningkatkan pengetahuan siapapun yang membaca makalah ini tentang kedua
penyakit tersebut.
Anamnesis
Anamnesis adalah tanya jawab yang dilakukan antara dokter dan
pasien guna untuk mendiagnosa penyakitnya. Anamnesis dibagi menjadi 2 macam
yaitu alo anamnesis dan auto anamnesis. Auto anamnesis adalah
tanya jawab antara dokter dan pasien sendiri, guna mendapatkan informasi
tentang penyakit pasien sedangkan alo anamnesis adalah tanya jawab
antara dokter dengan keluarga pasien, hal ini disebabkan karena pasien tidak
bisa ditanyai seputar penyakitnya karena adanya berbagai alasan. Pada kasus ini
anamnesis yang dilakukan adalah auto ananamnesis karena pasien
sendiri dapat menjawab seputar penyakit yang ia derita.1,2
Anamnesa yang dijalankan
melalui wawancara ini meliputi:
1. Menanyakan
identitas pasien
Nama :
Nn. Y
Umur :
21 tahun
Jenis kelamin :
Perempuan
2. Keluhan utama
Nyeri pada jari-jari tangan, dan ke 2
pergelangan tangan sudah berlangsung sejak 4 bulan yang lalu. Pasien juga mengatakan bahwa ibunya
juga sering nyeri sendi terutama pada lutut kirinya.
3. Keluhan penyerta
Ibu si pasien sering mengalami nyeri sendi
terutama pada lutut kirinya.
4. Riwayat
penyakit sekarang
Mula-mula gejala awalnya bagaimana dan
seperti apa?
Nyerinya seperti apa?
Hilang-timbul atau terus-menerus?
Menanyakan kepada pasien, apakah ia sudah
berobat ke dokter atau belum? Sudah mengkonsumsi obat sebelumnya atau belum?
Bila sudah, obat (analgesik, DMRAD, dll) apa?
Dan apakah keadaanya membaik atau memburuk?
Bila memburuk, efek sampingnya apa?
5. Riwayat penyakit
dahulu
Apakah sebelumnya pernah mengalami sakit
seperti ini atau belum?
Jika pernah, berapa kali dalam setahun?
Adakah riwayat kelainan sendi atau tulang
sebelumnya?
Adakah riwayat gout, arthritis, dan sebagainya?
Adakah riwayat penyakit serius lainnya?
Pernakah pasien menjalani operasi seperti
penggantian sendi?
Riwayat pekerjaan : apa akibat sosial dari
masalah sendi yang dialami?
6. Riwayat penyakit
keluarga
Dengan menanyakan penyusunan silsilah keluarga
bayi tersebut, maka perihal hereditas dapat ditentukan.3
Adakah riwayat penyakit autoimun dalam
keluarga?
Bagaimana pengaruh penyakit pada pekerjaan,
keluarga, pasangan, dan anak?
Ibu
pasien juga sering nyeri sendi terutama pada lutut kirinya.
Pemeriksaan Fisik1,2
a. Menilai
tanda-tanda vital
Nadi,
suhu, frekuensi pernapasan.
b. Inspeksi
- Kesadaran
: kompos mentis (sadar penuh), apatis (keadaan kesadaran pasien dimana ia
enggan berhubungan dengan lingkungan sekitar atau sikap acuh tak acuh), letargi
(kesadaran pasien tampak lesu dan mengantuk), somnolen (kesadaran pasien yang
selalu mau tidur saja tetapi dapat dibangunkan dengan rangsang nyeri, atau
untuk makan minum, namun jatuh tertidur lagi), sopor/stupor (keadaan kesadaran
pasien koma, berbaring dengan mata tertutup, tidak memberikan reaksi jika
dibangunkan kecuali dengan rangsang nyeri), koma (kesadaran yang hilang sama
sekali, dengan rangsang apapun tidak didapatkan lagi. Termasuk rangsang batuk
atau muntah).2
- Kulit:
Perlu diperhatikan apakah ada parut luka (scar), perubahan warna, dan lipatan
kulit abnormal.
- Bentuk:
Apakah terdapat bengkak, benjolan, bentuk tulang bengkok.
- Posisi:
Berbagai kelainan sendi dan lesi saraf mengakibatkan deformitas (carilah
deformitas dalam 3 bidang).
c. Palpasi
- Kulit:
Teraba hangat/dingin, lembab/kering, sensoris normal/abnormal.
- Jaringan
lunak: benjolan, pulsasi.
- Tulang
dan sendi: bentuk luar, penebalan synovial, cairan sendi (menekan lembut di
sekitar sendi MCP)
- Nyeri
tekan: sering kali diagnostik bila terlokalisir.
Pada Pemeriksaan fisik didapatkan : tampak sakit
ringan, kesadaran compos mentis, TTV dalam batas normal. Cor, pulmo, abdomen
tidak ada kelainan. Status lokalis: PIP I-V dan MCP I-V tidak ada pembengkakan,
teraba hangat, terdapat nyeri gerak (+) dan nyeri tekan (+).
Pemeriksaan
Penunjang
Tidak banyak berperan dalam diagnosis rheumatoid,
namun dapat membantu bila terdapat keraguan atau untuk melihat prognosis gejala
pasien. Dalam lebih dari 2 dekade terakhir ini
diketahui bahwa berbagai penyakit rematik yang dianggap mempunyai dasar
imunologik ternyata berkaitan dengan sistem hipokompatibilitas.
Sistem
ini ditentukan oleh faktor genetik yang pada manusia dikenal sebagai HLA (Human
Leukocyte Antygen) tertentu. Antigen HLA adalah molekul pada permukaan sel
yang sifatnya ditentukan oleh gen respon imun yang sangat polimorfis yang
letaknya pada
suatu kompleks di kromosom
No.6 manusia. Sampai
saat ini, diketahui 2 jenis antigen HLA yang berbeda dalam struktur dan fungsi: 4
1. Molekul
HLA kelas I, yaitu HLA A, B, C dan lokus-lokus lain yang diekspresikan pada
permukaan semua sel berinti dan berfungsi dalam presentasi antigen pada
limfosit T sitotoksik (CD8+).
2. Molekul
HLA kelas II yaitu HLA-DR, DQ dan DP dan diekspresikan terutama pada makrofag
dan sel T yang aktif dan berfungsi mempresentasikan antigen kepada limfosit T
helper (CD4+).
Saat
ini dapat dikatakan penggunaan pemeriksaan HLA dalam klinik masih terbatas.
Pada banyak keadaan, antigen HLA yang berkaitan dengan penyakit juga terjadi
relatif sering pada penduduk normal sehingga spesifitas penyakit berkurang.
Disamping itu tidak semua pasien yang sakit mempunyai jenis HLA yang berkaitan
dengan penyakitnya sehingga sensitifitasnya berkurang. Kaitan HLA dengan
penyakit juga berbeda-beda pada berbagai etnik populasi. Penjelasan yang
mungkin berkaitan dengan HLA yang bervariasi dan tidak lengkap ini adalah
dengan ditemukannya beberapa alel HLA yang berbeda tetapi mempunyai sequensi
(rentetan) asam amino polimorfis yang sama (hipotesis epitop bersama),
walaupun
sekarang dapat dilakukan pemeriksaan HLA secara molekular, sehingga dapat
dideteksi urutan asam amino yang berkaitan dengan penyakit, tetapi adanya
frekuensi HLA tertentu yang tinggi dalam populasi normal masih membuat
manfaatnya terbatas sebagai uji klinis. Walaupun begitu ada beberapa penyakit
rematik yang dengan pemeriksaan HLA sekarang ini dapat merupakan informasi
klinis yang berguna untuk diagnosis dan prognosis dan dapat berperan lebih besar
pada pengobatan di masa yang akan datang.
1. Pemeriksaan laboratorium4,5
a. Cairan
synovial
1) Kuning
sampai putih: derajat kekeruhan menggambarkan peningkatan jumlah sel darah
putih; fibrin clot menggambarkan kronisitas.
2) Mucin
clot.
Bekuan yang berat dan menurunnya viskositas menggambarkan penurunan kadar asam
hyaluronat.
3) Leukosit
5.000-50.000/mm3,
menggambarkan adanya proses inflamasi, didominasi oleh sel neutrophil (65%).
4) Glukosa:
normal atau rendah.
5) Rheumatoid
faktor positif, kadarnya lebih tinggi dari serum, berbanding terbalik dengan
kadar komplemen cairan sinovium.
6) Penurunan
kadar komplemen menggambarkan pemakaiannya pada reaksi imunologis.
7) Peningkatan
kadar IgG dan kompleks imun.
8) Phagocites
–
neutrophils yang “difagosit” oleh kompleks imun.
b. Darah
tepi
1) Leukosit:
normal atau meningkat (<12.000/mm3). Leukosit menurun bila terdapat
splenomegali; keadaan ini dikenal sebagai Felty’s
syndrome.
2) Anemia
normositer atau mikrositer, tipe penyakit kronis.
c. Pemeriksaan
Sero-imunologi
1) Rheumatoid
faktor + (IgM) - 75% penderita; 95% + pada penderita dengan nodul subkutan.
2) Anti
CCP antibodies positif telah dapat ditemukan pada AR dini.
3) Antinuclear
antibodies positif (10%-50% penderita)
dengan titer yang lebih rendah dibandingkan dengan Lupus Eritematosus Sistemik.
4) Anti-DNA
antibodies negatif.
5) Peningkatan
CRP, fibrinogen dan laju endap darah, menggambarkan aktivitas penyakit.
6) Meningkatnya
kadar alpha 1 dan alpha 2 globulin sebagai acute phase reactans.
7) Meningkatnya
kadar γ-gobulin menggambarkan kenaikan/akselerasi dari katabolisme protein pada
penyakit kronis.
8) Kadar
komplemen serum normal; menurunnya kadar komplemen dapat terjadi pada keadaan
penyakit dengan gejala ekstra artikular yang berat seperti vaskulitis.
9) Adanya
circulating immune complexes – serta ditemukan pada penyakit dengan manifestasi
sistemik.
2. Pemerikasaan Gambaran Radiologik4
Pada
awal penyakit tidak ditemukan, tetapi setelah sendi mengalami kerusakan yang
berat dapat terlihat penyempitan ruang sendi karena hilangnya tulang rawan sendi. Terjadi erosi tulang pada tepi
sendi dan penurunan densitas tulang. Perubahan ini sifatnya tidak reversibel.
Secara radiologik didapati adanya tanda-tanda dekalsifikasi
(sekurang-kurangnya) pada sendi yang terkena.
Diagnosis
a)
Working diagnosis
Rheumatoid arthritis.
b)
Differential
diagnosis
Ø Osteoarthritis2
Gejala dan tanda osteoarthritis muncul sangat perlahan dan biasanya mengenai satu
atau beberapa sendi saja. Sendi yang sering terkena adalah sendi lutut,
panggul, vertebrae, sendi antar falang
distal jari tangan, sendi karpometakarpal pertama, dan sendi tarsometatarsal
pertama. Komplikasi yang umum adalah kaku sendi, dan nyeri tekan yang dalam terutama pada pagi
hari. Bunyi “ kretek-kretek” akibat
permukaan yang terpajan yang saling bergesekan sering terdengar pada kasus yang
berat. Pemakaian sendi yang berulang-ulang seperti berjalan, menekuk
kaki, bangun dari duduk dan sebagainya dapat menimbulkan rasa nyeri. Biasanya
sendi agak membengkak dan mungkin terbentuk efusi ringan. Osteoarthritis ditandai dengan hipertrofi kartilago yang
berhubungan dengan suatu peningkatan terbatas dari matriks makromolekul oleh
kondriosit sebagai kompensasi dari perbaikan. Osteoarthritis terjadi sebagai kombinasi antara degradasi rawan
sendi, remodeling tulang dan
inflamasi cairan sendi.2
Tulang rawan sendi merupakan sasaran
utama dalam perubahan degeneratif pada Osteoarthritis.
Tulang rawan sendi memiliki tempat yang strategis yaitu di ujung tulang yang berfungsi untuk menjamin gerakan
yang tanpa gesekan di dalam sendi karena adanya cairan sinovial dan di sendi
sebagai penerima beban ke seluruh permukaan sendi sehingga tulang di bawahnya
dapat benturan tanpa mengalami kerusakan.2 Kedua fungsi ini mengharuskan
tulang rawan elastis dan memiliki daya renggang yang tinggi. Kedua ciri ini
dihasilkan oleh 2 komponen yaitu kolagen tipe II dan proteoglikan. Tulang sendi
pada orang dewasa tidak statis. Komponen matriks tulang yang haus digantikan
dan diuraikan. Keseimbangan ini dipertahankan oleh kondrosit. Selain
mensintesis matriks, kondrosit juga mengeluarkan enzim yang dapat menguraikan
matriks.2
Oleh karena itu, kesehatan
kondrosit dan kemampuan sel ini memelihara sifat essensial matriks tulang rawan
menentukan integritas sendi. Beberapa penelitian
membuktikan bahwa rawan sendi ternyata dapat melakukan perbaikan sendiri dimana
kondrosit akan mengalami replikasi dan memproduksi matriks baru. Proses
perbaikan ini dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan yaitu suatu polipeptida yang
mengontrol proliferasi sel dan membantu komunikasi antar sel. Faktor ini
menginduksi kondrosit untuk mensintesis asam deoksiribonukleat (DNA) dan
protein seperti kolagen dan proteoglikan. Faktor pertumbuhan yang berperan
adalah insuline-like growth factor (IGF-1),
growth hormon, transforming growth factor β (TGF-β), dan coloni stimulating factors (CSFs). Faktor pertumbuhan seperti IGF-1
memegang peranan penting dalam proses perbaikan rawan sendi. Pada keadaan
inflamasi, sel menjadi kurang sensitif terhadap IGF-1. Faktor pertumbuhan TGF-β
mempunyai efek multipel pada matriks kartilago yaitu merangsang sintetis
kolagen dan proteoglikan serta menekan stromelisin yaitu enzim yang
mendegradasi proteoglikan, meningkatkan produksi prostagladin E2
(PGE2) dan melawan efek inhibisi dari sintesis PGE2 oleh
interleukin-1 (IL-1). Hormon lain yang mempengaruhi sintesis komponen kartilago
adalah testosteron, β-ekstradiol, platelet
derivat growth factor (PDGF), fibroblast
growth factor, dan kalsitonin. Peningkatan degradasi kolagen akan mengubah
keseimbangan metabolisme rawan sendi. Kelebihan produk hasil degradasi matriks
rawan sendi ini cenderung berakumulasi di sendi dan menghambat fungsi rawan
sendi serta mengawali suatu respon imun yang menyebabkan inflamasi sendi.
Perbandingan antara sintesis dan pemecahan matriks rawan sendi pada pasien OA
kenyataannya lebih rendah dibanding normal yaitu 0,29 dibanding 1. Pada rawan
sendi pasien OA (Osteoarthritis) juga terjadi proses peningkatan aktivitas
fibriogenik dan penurunan aktivitas fibrinolitik. Proses ini menyebabkan
terjadinya penumpukan tronbus dan kompleks lipid pada pembuluh darah subkondral
yang menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan subkondral tersebut.
Ini mengakibatkan dilepasnya mediator kimiawi seperti prostagladin dan
interleukin yang selanjutnya menimbulkan bone
angina lewat subkondral yang diketahui mengandung ujung syaraf yang
sensibel yang menimbulkan rasa sakit. Penyebab rasa sakit itu dapat juga berupa
akibat dari dilepasnya mediator kimiawi seperti kinin dan prostagladin yang
menyebabkan radang sendi, peregangan tendon atau ligamentum, dan spasmus
otot-otot ekstra artikuler akibat kerja yang berlebihan. Sakit pada sendi juga
diakibatkan karena adanya osteofit yang menekan periosteum dan radiks saraf
yang berasal dari medula spinalis serta kenaikan tekanan akibat statis vena
intramedullar karena proses remodeling pada trabekula dan subkondrial.2
Peran makrofag di dalam cairan
sendi juga penting yaitu apabila dirangsang oleh jejas mekanis, material asing
hasil nekrosis jaringan akan memproduksi sitokin aktivator plasminogen (PA)
yang disebut katabolin. Sitokin tersebut adalah IL-1, IL-6, TNF α, TNF β, dan
interferon (INF) α.4 Sitokin-sitokin ini akan merangsang kondrosit
melalui reseptor permukaan spesifik untuk memproduksi CSFs yang sebaliknya akan
mempengaruhi monosit dan PA untuk mendegradasi rawan sendi secara langsung.
Pasien OA mempunyai kadar PA yang tinggi pada cairan sendinya. Sitokin ini juga
mempercepat resorpsi matriks tulang sendi. Interleukin-1 mempunyai efek
multipel pada sel cairan sendi yaitu meningkatkan sintesis enzim yang
mendegradasi rawan sendi yaitu stromelisin dan kolagenosa, menghambat proses
sintesis dan perbaikan normal kondrosit. Kondrosit pasien OA mempunyai reseptor
IL-1 dua kali lipat lebih banyak dibanding individu normal dan kondrosit
sendiri dapat memproduksi IL-1 secara lokal. Faktor pertumbuhan dan sitokin
tampaknya mempunyai pengaruh yang berlawanan selama perkembangan OA. Sitokin
cenderung merangsang degradasi komponen matriks rawan sendi. Faktor pertumbuhan
merangsang sintesis. Akantetapi IGF-1 pasien OA lebih rendah dibandingkan
individu normal.2
Ø Systemic
Lupus Erythematosus (SLE)
Sama
seperti RA, SLE adalah gangguan autoimun sistemik. Penyakit ini ditandai
oleh adanya antibodi antinuklear.
Manifestasinya
bisa ditemukan pada berbagai organ sehingga gejala dan tandanya sangat banyak.
Presentasi kliniknya termasuk ruam malar, atralgia, alopesia, perikarditis,
gagal ginjal, defisit neurologis, atau bahkan gangguan psikiatrik, serta
fotosensitif lupus eritematosus sistemik (SLE) ruam biasanya terjadi pada wajah
atau ekstremitas, yang daerah terkena sinar matahari. Pada SLE, terdapat gejala
non spesifik termasuk nyeri sendi, penurunan berat badan dan limfadenopati. Meskipun penyebab spesifik dari SLE tidak diketahui,
beberapa faktor yang berhubungan dengan perkembangan penyakit, termasuk, ras,
hormonal, dan lingkungan faktor genetik.gangguan kekebalan tubuh, baik bawaan
dan diperoleh, terjadi pada SLE. SLE biasanya dapat dibedakan jika ada
lesi kulit terpajan pada area terang, rambut rontok, lesi mukosa hidung dan
mulut, adanya erosi sendi pada arthritis jangka panjang, cairan sendi yang
seringkali sampai < 2000 leukosit / μL terutama mononuklear
sel, antibodi terhadap DNA double-stranded, penyakit ginjal, dan serum
komplemen yang rendah.
Berbeda dengan RA, deformitas dalam SLE biasanya direduksi karena
kurangnya erosi dan kerusakan pada tulang atau tulang rawan.Pada
penderita SLE, pemeriksaan fisik dilakukan dengan melihat ada tidaknya: ruam
malar yang ditandai oleh ruam erimatosa dan jembatan hidung (disebut ruam
kupu-kupu), demam, anemia, limfadenopati, ulkus mulut, bengkak sendi (efusi dan
nyeri tekan), takipnea (pertimbangan adanya hipertensi pulmonal, emboli paru,
gagal ginjal disertai kelebihan cairan, efusi pleura, dan fibrosis paru),
TD:periksa adanya hipertensi, gesekan perikard/pleural, edema pergelangan kaki,
neuropati. Selain itu ditemukan pula defisit neurologis, termasuk defisit fokal
dan gangguan kognitif; gangguan psikiatrik, khususnya psikosis dan urin:
proteinuria dipstik, hematuria, dan silinder.6,7
Ø Arthritis
Gout
Gout
yang juga disebut pirai ini merupakan kelainan metabolisme purin bawaan yang
ditandai dengan peningkatan kadar asam urat serum dengan akibat penimbunan
kristal asam urat di sendi yang menimbulkan artritis urika akut. Berbeda dengan
RA, penyakit ini lebih sering ditemukan pada pria dengan ratio 20:1. Biasanya
menunjukkan gejala pada usia dewasa muda dengan puncaknya setelah berusia 40
tahun. Penyakit ini sering menyerang sendi perifer kaki dan tangan, dan
tersering mengenai persendian meta tarso falangeal ibu jari kaki. Pada anamnesis, biasanya ditemukan keluhan sendi kemerahan
disertai nyeri akut seringkali pada ibu jari kaki.Rasa sakit pada sendi dengan
permulaan eksplosif dan khas menyerang sendi-sendi kecil terutama jari-jari
kaki.Rasa sakit biasanya selalu berulang-ulang dengan sendi yang terkena
bengkak, panas, kemerahan dan sakit, sering dijumpai thopi.Pada penderita
seringkali terdapat batu ginjal. Pada pemeriksaan laboratorium, didapatkan
kadar asam urat meningkat, ditemukannya Kristal-kristal asam urat dalam cairan
synovial sendi yang terserang.7
Stadium
awal berupa serangan monoartikuler yang ditandai dengan nyeri sendi hebat
karena artritis akut. Biasanya
terdapat kemerahan, pembengkakan, nyeri tekan lokal dan sendi tidak dapat
digerakkan. Arthritis akut ini disertai
demam dan leukositosis serta gambaran gejala selulitis dan arthritis septik akut.
Umumnya serangan berakhir dalam beberapa hari, akan tetapi serangan yang berat
dapat menetap untuk beberapa minggu. Setelah beberapa tahun, 50% akan
berkembang menjadi pirai bertophus. Tophus adalah nodul kecil yang terdiri dari
kristal asam urat. Arthritis pirai kronik,
ditandai dengan adanya pembengkakan dan kekakuan sendi. Pada stadium lanjut
yang kronik ini serangan akut dapat terjadi. Pada foto rontgen, timbunan
kristal asam urat murni memberi gambaran radiolusen sedangkan timbunan kalsium
tampak radioopak. Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan hiperurisemia dan
pada 50% penderita ditemukan kristal urat pada cairan sinovial atau tophus. Pada penderita penyakit
ini, dapat dipakai obat urikosurik yaitu probenesid dan sulfinpirazon yang
bekerja menghambat reabsorpsi asam urat di tubuli ginjal. Kadar asam urat dalam
duktus kolektivus meninggi sehingga kemungkinan timbul batu ginjal menjadi
lebih tinggi.Hal ini dapat diatasi dengan minum banyak. Kemudian bisa diberikan
allupurinol yang menghambat enzim xantin oksidase sehingga mengurangi
pembentukan asam urat. Kadar
asam urat ini perlu diturunkan sampai di bawah 7 mg%. Dengan menurunnya kadar
urat, maka tophi lambat laut akan menghilang.
Etiologi
Penyebab AR sampai sekarang
belum diketahui. Beberapa faktor di bawah ini diduga berperan dalam timbulnya penyakit
artritis rheumatoid. 8
1. Faktor genetik dan lingkungan
Terdapat
hubungan antara HLA-DW4 dengan AR seropositif yaitu penderita mempunyai resiko
4 kali lebih banyak terserang penyakit ini.
2. Hormon seks
Faktor
keseimbangan hormonal diduga ikut berperan karena perempuan lebih banyak
menderita penyakit ini dan biasanya sembuh sewaktu hamil.
3. Infeksi
Dugaan
adanya infeksi timbul karena permulaan sakitnya terjadi secara mendadak dan
disertai tanda-tanda peradangan. Penyebab infeksi diduga bakteri, mikoplasma,
atau virus.
4. Heat Shock Protein (HSP)
HSP
merupakan sekelompok protein berukuran sedang yang dibentuk oleh tubuh sebagai
respons terhadap stres.
5. Radikal bebas
Contohnya
radikal superokside dan lipid peroksidase yang merangsang keluarnya
prostaglandin sehingga timbul rasa nyeri, peradangan dan pembengkakan.
6. Umur
Penyakit
ini terjadi pada usia 20-60 tahun, tetapi terbanyak antara umur 35-45 tahun.
Arthritis rheumatoid ini merupakan bentuk arthritis
yang serius, disebabkan oleh peradangan kronis yang bersifat progresif, yang menyangkut
persendian. Ditandai dengan sakit dan bengkak pada sendisendi terutama pada
jari-jari tangan, pergelangan tangan, siku, dan lutut. Penyebab arthritis rheumatoid
masih belum diketahui walaupun banyak hal mengenai patogenesisnya telah
terungkap. Penyakit ini tidak dapat ditunjukkan memiliki hubungan pasti dengan
genetik. Terdapat kaitan dengan penanda genetik seperti HLA-DW4 (Human
Leukocyte Antigens) dan HLA-DR5 pada orang Kaukasia. Namun pada orang Amerika,
Afrika, Jepang, dan Indian Chippewa hanya ditentukan kaitan dengan HLA-DW4. Destruksi
jaringan sendi terjadi melalui dua cara. Pertama adalah destruksi pencernaan
oleh produksi, protease, kolagenase, dan enzim hidrolitik lainnya. Enzim ini
memecah kartilago, ligamen, tendon, dan tulang pada sendi, serta dilepaskan
bersama – sama dengan radikal O2 dan metabolit asam arakidonat oleh leukosit
polimorfonuklear dalam cairan sinovial. Proses ini diduga adalah bagian dari
respon autoimun terhadap antigen yang diproduksi secara lokal Destruksi
jaringan juga terjadi melalui kerja panus reumatoid. Panus merupakan jaringan
granulasi atau vaskuler yang terbentuk dari sinovium yang meradang dan kemudian
meluas ke sendi. Di sepanjang pinggir panus terjadi destruksi, kolagen, dan
proteoglikan melalui produksi enzim oleh sel di dalam panus tersebut.8
Epidemiologi8
Pada kebanyakan populasi di
dunia, prevalensi AR relative konstan yaitu berkisar antara 0.5-1%. Prevalensi
yang tinggi dapat ditemukan di Pima Indian dan Chippewa Indian masing-masing
sebesar 5.3% dan 6.8%. Prevalensi AR di India dan di Negara barat kurang lebih
sama yaitu sekitar 0.75%. sedangkan di China, Indonesia, dan Philipina
prevalensinya kurang dari 0.4%, baik di daerah urban maupun rural. Hasil survey
yang dilakukan di Jawa Tengah mendapatkan prevalensi AR sebesar 0.2% di daerah
rural dan 0.3% di daerah urban. Sedangkan penelitian yang dilakukan di Malang
pada penduduk berusia diatas 40 tahun mendapatkan prevalensi AR sebesar 0.5% di
daerah Kotamadya dan 0.6% di daerah kabupaten. Di Poliklinik Reumatologi RSUPN
Cipto Mangunkusumo Jakarta, kasus baru AR merupakan 4.1% dari seluruh kasus
baru tahun 2000 dan pada periode Januari s/d Juni 2007 didapatkan sebanyak 203
kasus AR dari jumlah kunjungan 1.346 orangg (15.1%). Prevalensi AR lebih banyak
ditemukan pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki dengan rasio 3:1 dan
dapat terjadi pada semua kelompok umur, dengan angka kejadian tertinggi
didapatkan pada decade keempat dan kelima.
Arthritis rheumatoid masih menjadi masalah kesehatan
dunia, diperkirakan 0,5-1 % dari populasi global menderita AR. Peluang
terjadinya penyakit hati pada penderita AR dua kali lebih besar dari yang tidak
menderita. America Arthritis Fondation melaporkan, penderita AR berisiko dua
kali lebih besar terkena penyakit jantung sehingga meningkatkan angka kematian
penderita Cardiovascular dan infeksi. Lima puluh persen pasien AR mengalami
kecacatan fungsional sementara setelah 20 tahun, 80 % cacat dan dapat
mengurangi usia harapan hidup 3-18 tahun (Holm 2001).
Studi epidemiologi melaporkan berbagai faktor risiko
yang dihubungkan dengan terjadinya penyakit AR, seperti faktor kerentanan
terhadap penyakit dan faktor inisiasi yaitu faktor yang diduga meningkatkan
risiko berkembangnya penyakit (DCD 2005).
Faktor kerentanan seperti :1) jenis kelamin; 2) Usia : Dapat terjadi
pada usia muda 30-50 tahun, usia lanjut terutama pada wanita kasus AR
meningkat; 3) Obesitas : memacu meningkatnya oksidan melalui berbagai
mekanisme; 4) Genetik, keluarga yang memiliki anggota keluarga terkena AR
memiliki risiko lebih tinggi, dan dihubungkan dengan gen HLA-DR4. Faktor
inisiasi adalah perokok , infeksi bakteri atau virus menjadi inisiasi dari AR,
pil kontrasepsi, gaya hidup : stres dan diet mengawali inflamasi sendi.
Patofisiologi8
Pada arthritis rheumatoid, reaksi autoimun (yang sudah
dijelaskan sebelumnya) terutama terjadi dalam jaringan sinovial. Proses
fagositosis menghasilkan enzim-enzim dalam sendi. Enzim-enzim tersebut akan memecah
kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi membran sinovial dan akhirnya
pembentukan pannus. Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan
erosi tulang. Akibatnya adalah menghilangnya permukaan sendi yang akan
mengganggu gerak sendi. Otot akan terkena karena serabut otot akan mengalami
perubahan degeneratif dengan menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan
kontraksi otot.
Patogenesis8
Arthritis rheumatoid adalah
penyakit peradangan kronik yang menyebabkan degenerasi jaringan ikat.
Peradangan (inflamasi) pada AR terjadi secara terus-menerus terutama pada organ
sinovium dan menyebar ke struktur sendi di sekitarnya seperti tulang rawan,
kapsul fibrosa sendi, ligamen dan tendon. Inflamasi ditandai dengan penimbunan
sel darah putih, pengaktifan komplemen, fagositosis ekstensif dan pembentukan
jaringan granular. Inflamasi kronik menyebabkan hipertropi dan penebalan pada
membran sinovium, terjadi hambatan aliran darah dan nekrosis sel dan inflamasi
berlanjut (Wiralis 2008).
Inflamasi menyebabkan pelepasan berbagai protein
sitokin. Sitokin memiliki fungsi antara lain memelihara keseimbangan tubuh
selama terjadi respon imun, infeksi, kerusakan, perbaikan jaringan,
membersihkan jaringan mati, darah yang membeku dan proses penyembuhan. Jika
produksi sitokin meningkat, kelebihan sitokin dapat menyebabkan kerusakan yang
serius pada sendi saat inflamasi AR. Sitokin yang berperan penting pada AR
antara lain adalah IL-1, IL-6, TNF-α dan NO. Nitrit oksida, diketahui dapat
menyebabkan kerusakan sendi dan berbagai manifestasi sistemik (Rahmat 2006).
Leukosit adalah bagian sistem imun tubuh yang secara
normal dibawa ke sinovium dan menyebabkan reaksi inflamasi atau sinoviositis
saat antigen berkenalan dengan sistem imun. Elemen-elemen sistem imun (gambar
1) dibawa ke tempat antigen, melalui peningkatan suplai darah (hiperemi) dan
permeabilias kapiler endotel, sehingga aliran darah yang menuju ke lokasi
antigen lebih banyak membawa makrofag dan sel imun lain (Fonnie 2007). Saat inflamasi leukosit berfungsi menstimulasi produksi
molekul leukotriens, prostaglandin (membuka pembuluh darah dan meningkatkan
aliran darah) dan NO (gas yang berperan dalam fleksibilitas dan dilatasi
pembuluh darah, dalam jumlah yang tinggi merupakan substansi yang berperan
besar pada berbagai kerusakan AR) (Visioli 2002). Peningkatan
permeabilitas vaskular lokal menyebabkan anafilatoksin (C3, C5). Local
vascular pada endotel melepas NO dengan vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas
vaskular, ekspresi molekul adhesi pada endothel, pembuluh darah, ekspresi
molekul MHC kelas II dan infiltrasi sel neutrofil dan makrofag (Anonim
2010).
Inflamasi sinovial dapat terjadi pada
pembuluh darah, yang menyebabkan hiperplasia sel endotel pembuluh darah kecil,
fibrin, platelet dan inflamasi sel yang dapat menurunkan aktivitas vaskuler
pada jaringan sinovial. Hal ini menyebabkan gangguan sirkulasi darah dan
berakibat pada peningkatan metabolisme yang memacu terjadinya hipertropi (bengkak)
dan hiperplasia (membesar) dan sel dalam keadaan hipoksia. Sel yang hipoksia
dalam sinovium berkembang menjadi edema dan menyebabkan multiplikasi sel
sinovial. Sel pada sinovium tumbuh dan membelah secara abnormal, membuat
lapisan sinovium menebal, sehingga sendi membesar dan bengkak (Ackerman and
Rosai 2005).
Berkembangnya
fase penyakit, ditunjukkan dengan penebalan synovial membentuk jaringan yang
disebut panus. Panus adalah lembaran/lapisan yang menebal membentuk granulasi.
Panus dapat menyebar ke dalam sinovium sendi dan bersifat destrukstif terhadap
elemen sendi (Bresnihan et al 1998). Interaksi antara antibodi dan antigen
menyebabkan perubahan komposisi cairan sinovial, cairan sinovial kurang mampu
mempertahankan fungsi normal dan bersifat agresif-destruktif. Respons dari
perubahan dalam sinovium dan cairan sinovial, menyebabkan kerusakan sejumlah
besar sendi dan jaringan lunak secara bertahap berdasarkan fase perkembangan
penyakit (Ackerman and Rosai 2004). Destruksi
yang terjadi pada tulang menyebabkan kelemahan tendon dan ligamen, perubahan
struktur tulang dan deformitas sendi sehingga mempengaruhi aktivitas harian dan
menghilangkan fungsi normal sendi. Destruksi
dapat terjadi oleh serangan panus (proliferasi sel pada lining sinovial) ke subkodral
tulang. Destruksi tulang menyebabkan area hialin kartilago dan lining
synovial tidak dapat menutupi tulang, sendi dan jaringan lunak (Hellman
2004 & Ackerman 2004).
Tahap lebih lanjut, terjadi kehilangan
struktur artikular kartilago dan menghasilkan instabilitas terhadap fungsi
penekanan sendi, menyebabkan aktivitas otot tertekan oleh destruksi tulang,
lebih jauh menyebabkan perubahan struktur dan fungsi sendi yang bersifat
ireversibel dan dapat terjadi perubahan degeneratif terutama pada densitas
sendi. Destruksi dapat menyebabkan terbatasnya pergerakan sendi secara
signifikan, ditandai dengan ketidak stabilan sendi (Hellman 2004
& Ackerman 2004).
Gambaran
klinis8
Ada beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada
seseorang artritis reumatoid. Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus
pada saat bersamaan oleh karena penyakit ini memiliki gambaran klinis yang
sangat bervariasi.
1.
Gejala-gejala
konstitusional, misalnya lelah,
anoreksia, berat badan menurun dan demam. Terkadang kelelahan dapat demikian
hebatnya.
2.
Poliartritis
simetris terutama pada sendi
perifer: termasuk sendi-sendi di tangan, namun biasanya tidak melibatkan
sendi-sendi interfalang distal. Hampir semua sendi diartrodial dapat diserang.
3.
Kekakuan
di pagi hari selama lebih dari 1
jam; dapat bersifat generalisata tetapi terutama menyerang sendi-sendi.
Kekakuan ini berbeda dengan kekakuan sendi pada osteoartritis, yang biasanya
hanya berlangsung selama beberapa menit dan selalu berkurang dari satu jam.
4.
Arthritis
erosif; merupakan ciri
khas penyakit ini pada gambaran radiologik. Peradangan sendi yang kronik
mengakibatkan erosi di tepi tulang.
5.
Deformitas;
Kerusakan
jaringan penungjang sendi meningkat dengan pejalanan penyakit. Pergeseran ulnar
atau deviasi jari, subluksasi sendi metekarpofalangeal, deformitas boutonniere
dan leher angsa adalah beberapa deformitas tangan yangsering dijumpai. Pada
kaki terdapat protrusi (tonjolan) kaput metersal yang timbul sekunder dari
subluksasi metatersal. Sendi-sendi yang besar juga dapat terserang dan
mengalami pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam melakukan gerakan ekstensi.
6.
Nodul-nodul
reumatoid: adalah massa subkutan yang ditemukan
padabsekitar sepertiga orang dewasa pasien artritis reumatoid. Lokasi yangbpaling
sering dari deformitas ini adalah bursa olekranon (sendi siku) atau di
sepanjang permukaan ekstensor dari lengan; walaupun demikian nodula-nodula ini
dapat juga timbul pada tempat-tempat lainnya. Adanya nodula-nodula ini biasanya
merupakan suatu petunjuk suatu penyakit yangbaktif dan lebih berat.
7. Manifestasi
ekstra-artikular; arthritis rheumatoid juga dapat menyerang
organ-organ lain di luar sendi. Jantung (perikarditis), paru-paru (pleuritis),
mata, dan pembuluh darah dapat rusak.
Penatalaksanaan
Belum ada penyembuhan untuk AR. Penyakit ini biasanya
berlangsung seumur hidup, sehingga memerlukan penanganan seumur hidup pula. Dalam
pengobatan AR umumnya selau dibutuhkan pendekatan multidisipliner. Suatu tim
yang idealnya terdiri dari dokter, perawat, ahli fisioterapi, ahli terapi
okupasional, pekerja sosial, ahli farmasi, ahli gizi dan ahli psikologi,
semuanya memiliki peranan masing-masing dalam pengelolaan pasien AR baik dalam
bidang edukasi maupun penatalaksanaan pengobatan penyakit ini.
1. Farmakologis8,9
Beberapa jenis obat yang digunakan pada
AR antara lain sebagai berikut:
1)
Obat
Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS)
Obat ini diberikan sejak mulai sakit
untuk mengatasi nyeri sendi akibat proses peradangan. Golongan obat ini tidak
dapat melindungi rawan sendi maupun tulang dari proses kerusakan akibat
penyakit AR.
Contoh obat golongan ini yaitu
Asetosal, Ibuprofen, Natrium Diclofenak, Indometasin, Asam flufenamat,
Piroksikam, Fenilbutason, dan Naftilakanon.
2) Kortikosteroid
Obat ini berkhasiat sebagai antiradang
dan penekan reaksi imun (imunosupresif), tetapi tidak bisa mengubah
perkembangan penyakit AR. Kortikosteroid bisa digunakan secara sistemik
(tablet, suntikan IM) maupun suntikan lokal di persendian yang sakit sehingga
rasa nyeri dan pembengkakan hilang secara cepat. Pengobatan kortikosteroid
sistemik jangka panjang hanya diberikan kepada penderita dengan komplikasi
berat dan mengancam jiwa, seperti radang pembuluh darah (vaskulitis).
3) Disease
Modifying Anti Rheumatoid Drugs (DMARDs)/ Obat pengubah perjalanan penyakit
Bila diagnosis AR telah ditegakkan,
oabt golongan ini harus segera diberikan. Beberapa ahli bahkan menganjurkan
pemberian DMARDs, baik sebagai obat tunggal maupun kombinasi dengan DMARDs lain
pada tahap dini, baru kemudian dikurangi secara bertahap bila aktivitas AR
telah terkontrol. Bila penggunaan satu jenis DMARDs dengan dosis adekuat selama
3-6 bulan tidak menampakkan hasil, segera hentikan atau dikombinasi dengan
DMARDs yang lain.
Contoh obat golongan ini yaitu
Klorokuin, Hidroksiklorokuin, Sulfazalazine, Dpenisilamin,
Garam Emas (Auro Sodium Thiomalate, AST), Methothexate, Cyclosporin-A dan Lefonomide.
4) Obat imunosupresif
Obat ini jarang digunakan karena efek
samping jangka panjang yang berat seperti timbulnya penyakit kanker, toksik
pada ginjal dan hati.
5) Suplemen antioksidan
Vitamin dan mineral yang berkhasiat
antioksidan dapat diberikan sebagai suplemen pengobatan seperti beta karoten,
vitamin C, vitamin E, dan selenium.
Pembedahan dilakukan apabila
rheumatoid arthritis sudah mencapai tahap akhir. Bentuknya dapat berupa
tindakan arhthrodesis untuk menstabilkan sendi, arthoplasty atau total join replacement
untuk mengganti sendi.
2. Non
farmakologis10,11
Perawatan dan pengobatan terhadap
penyakit rheumatik adalah sebagai berikut:
1) Herbal dan Jus Buah
Herbal yang digunakann untuk mengatasi arthritis rheumatoid adalah bawang
putih, beluntas, daun sendok, gandarusa, jahe merah, kunyit, sambiloto,
sembung, temulawak, dan sidaguri. Herbal-herbal tersebut mengandung berbagai
macam antioksidan yang mencegah penyakit yang disebabkan oleh asam urat. Bawang
putih mengandung alilin yang akan terpecah menjadi alisin dan berguna
untuk menghancurkan endapan darah arteri menghilangkan nyeri (anti-inflamasi)
dan diuretik. Beluntas mengandung flavonoid yang berfungsi menghilangkan nyeri
akibat rematik, nyeri tulang, dan sakit pinggang. plantagin, aukubin, asam ursolik
pada daun sendok berkhasiat menurunkan kadar asam urat dalam darah, diuretic,
melarutkan endapan garam kalsium yang terdapat dalam ginjal dan kandung
kencing. Justicin pada gandarusa berfungsi antirematik. Jahe merah, temulawak
dan kunyit memiliki minyak atsiri, gingerol, kurkumin, berkhasiat untuk
melancarkan peredaran darah, anti inflamasi, dan menghilangkan nyeri rematik
(Agromedia 2008). Berikut tabel bermacam-macam buah yang berguna untuk
mengatasi rematik:
2) Pengaturan
aktivitas dan istirahat. Pada kebanyakan penderita, istirahat secara teratur
merupakan hal penting untuk mengurangi gejala penyakit. Pembebatan sendi yang
terkena dan pembatasan gerak yang tidak perlu akan sangat membantu dalam
mengurangi progresivitas inflamasi. Namun istirahat harus diseimbangkan dengan
latihan gerak untuk tetap menjaga kekuatan otot dan pergerakan sendi.11
3) Diet
Untuk penderita rheumatoid arthritis disarankan untuk mengatur dietnya. Diet yang disarankan yaitu asam lemak omega-3 yang terdapat dalam minyak ikan.11
Untuk penderita rheumatoid arthritis disarankan untuk mengatur dietnya. Diet yang disarankan yaitu asam lemak omega-3 yang terdapat dalam minyak ikan.11
Komplikasi8
Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah
gastritis dan ulkus peptikum yang merupakan komplikasi utama
penggunaan obat obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) atau obat pengubah
perjalanan penyakit (desease modifying antirhematoid drugs, DMARD)
yang menjadi faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada
arthritis rheumatoid. Komplikasi saraf yang terjadi memberikan gambaran
jelas, sehingga sukar dibedakan akibat lesi artikuler dan lesi
neuropatik. Umumnya berhubungan dengan myelopati akibat ketidakstabilan
vertebra vertical dan neuropati iskemik akibat vaskulitis.
Prognosis8,10
Pada umumnya pasien arthritis
rheumatoid akan mengalami manifestasi penyakit yang bersifat monosiklik (hanya mengalami
satu episode arthritis reumatoid dan selanjutnya akan mengalami remisi
sempurna). Tapi sebagian besar penyakit ini telah terkena artritis reumatoid
akan menderita penyakit ini selama sisa hidupnya dan hanya diselingi oleh beberapa
masa remisi yang singkat (jenis polisiklik). Sebagian kecil lainnya
akan menderita arthritis reumatoid yang progresif yang disertai dengan
penurunan kapasitas fungsional yang menetap pada setiap eksaserbasi.
Seperti telah disebutkan
sebelumnya, bahwa penyakit ini bersifat sistemik. Maka seluruh organ dapat diserang,
baik mata, paru-paru, jantung, ginjal, kulit, jaringan ikat, dan sebagainya.
Bintik-bintik kecil yang berupa benjolan atau noduli dan tersebar di seluruh
organ di badan penderita. Pada paru-paru dapat menimbulkan lung fibrosis, pada
jantung dapat menimbulkan pericarditis, myocarditis dan seterusnya.
Bahkan di kulit, nodulus rheumaticus ini bentuknya lebih besar dan
terdapat pada daerah insertio dan otot-otot atau pada daerah extensor. Bila
RA nodule ini kita sayat secara melintang maka kita akan dapati gambaran:
nekrosis sentralis yang dikelilingi dengan sebukan sel-sel radang mendadak dan
menahun yang berjajar seperti jeruji roda sepeda (radier) dan
membentuk palisade. Di sekitarnya dikelilingi oleh deposit-deposit fibrin dan
di pinggirnya ditumbuhi dengan fibroblast. Benjolan rematik ini jarang
dijumpai pada penderita RA jenis ringan. Disamping hal-hal yang disebutkan di
atas gambaran anemia pada penderita RA bukan disebabkan oleh karena kurangnya
zat besi pada makanan atau tubuh penderita. Hal ini timbul akibat pengaruh
imunologik, yang menyebabkan zat-zat besi terkumpul pada jaringan
limpa dan sistema retikulo endotelial, sehingga jumlahnya di daerah menjadi
kurang. Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gratitis
dan ulkus peptik yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat antiinflamasi
nonsteroid (OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit (desease
modifying antiremathoid drugs, DMARD) yang menjadi faktor penyebab
morbiditas dan mortalitas utama pada artritis reumatoid. Komplikasi saraf yang
terjadi tidak memberikan gambaran jelas, sehingga sukar dibedakan antara
akibat lesi artikular dan lesi neuropatik. Umumnya berhubungan dengan
mielopati akibat ketidakstabilan vertebra servikal dan neuropati iskemik
akibat vaskulitis.
Prediktor prognosis buruk
pada stadium dini AR antara lain : skor funsional yang rendah, status sosial
ekonomi rendah, tingkat pendidikan rendah, ada riwayat keluarga dekat menderita
AR, melibatkan banyak sendi, nilai CRP atau LED tinggi saat permulaan penyakit,
RF atau anti CCP positif, ada perubahan radiologis pada awal penyakit, ada
nodul rheumatoid/manifestasi ekstraartikular lainnya.8
Sebanyak 30% penderita AR
dengan manifestasi penyakit sudah mendapat berbagai macam terapi. Sedangkan
penderita dengan penyakit lebih ringan memberikan respon yang baik dengan
terapi. Penelitian yang dilakukan oleh Lindqvist dkk pada penderita AR yang
mulai tahun 1980-an, memperlihatkan tidak adanya peningkatan angka mortalitas
pada 8 tahun pertama sampai 13 tahun setelah diagnosis. Rasio keseluruhan
penyebab kematian pada penderita AR dibandingkan dengan populasi umum adalah
1.6. Tetapi hasil ini mungkin akan
menurun setelah penggunaan jangka panjang DMARD terbaru.8
Pencegahan8
Walaupun hingga kini belum berhasil didapatkan suatu
cara pencegahan dan pengobatan AR yang sempurna, saat ini pengobatan pada
pasien AR ditujukan untuk:
a. Menghilangkan
gejala inflamasi aktif baik lokal maupun sistemik
b. Mencegah
terjadinya destruksi jaringan
c. Mencegah
terjadinya deformitas dan memelihara fungsi persendian agar tetap dalam keadaan
baik
d. Mengembalikan
kelainan fungsi organ dan persendian yang terlibat agar sedapat mungkin menjadi
normal kembali.
Kesimpulan
Arthritis rhematoid merupakan penyakit inflamasi
sistemik kronik dengan manifestasi utama poliartritis progresif dan melibatkan
seluruh organ tubuh. Terlibatnya sendi pada pasien arthritis rheumatoid terjadi setelah penyakit ini
berkembang lebih lanjut sesuai dengan sifat progresifitasnya. Pasien dapat juga
menunjukkan gejala berupa kelemahan umum cepat lelah. Biasanya gejala timbul
perlahan-lahan seperti lelah, demam, hilangnya nafsu makan, turunnya berat
badan, nyeri, dan kaku sendi. Oleh karena
itu, penderita Arthritis Rheumatoid seringkali
datang dengan keluhan arthritis
yang nyata dan tanda-tanda keradangan sistemik.
Meskipun penderita arthritis rheumatoid jarang yang
sampai menimbulkan kematian, namun apabila tidak segera ditangani dapat menimbulkan
gejala deformitas/cacat yang menetap. Selain itu karena penyakit ini bersifat
kronis dan sering kambuh, maka penderita akan mengalami penurunan produktivitas
pekerjaan karena gejala dan keluhan yang timbul menyebabkan gangguan aktivitas
fisik, psikologis, dan kualitas hidup menderita. Prognosis untuk kehidupan penderita tidak
membahayakan, akan tetapi kesembuhan penyakit sukar tercapai.
Tujuan pengobatan adalah menghasilkan
dan mempertahankan remisi atau sedapat mungkin berusaha menekan aktivitas
penyakit tersebut. Tujuan utama dari program terapi adalah meringankan rasa
nyeri dan peradangan, mempertahankan fungsi sendi dan mencegah dan/atau
memeperbaiki deformitas.
Daftar pustaka
1. Suarjana I N.
Arthritis rheumatoid. Dalam: Sudoyo A W, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed. V. Jakarta: Interna Publishing;
2009.h.2495-2511.
2.
Baughman D C,
Hackley J C. Keperawatan medical bedah. Jakarta : EGC; 2000.h.49.
3. Gleadle
J. At A Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta: Penerbit Erlangga;
2007.h.215-16.
4. Prout
B J, Cooper J G. Pedoman praktis diagnosis klinik. Edisi ke-2. Jakarta:
Binarupa Aksara; 2002.h.228-31
5.
Carter
MA. Rheumatoid arthritis, ostoearthritis dalam Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Ed 6. Jakarta. ECG; 2006.h.1380-9.
6. Junadi
P, Soemasto AS, Amelz H. Kapita selekta kedokteran. Ed 2. Jakarta: Media
Aesculapius;
1982.h.143-56.
7. Gunadi,
Rachmat W. Diagnosis & Terapi
Penyakit Rheumatik. Bandung: Sagung Seto; 2006.h.57-60.
8. Sudoyo
A W,
Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Ilmu penyakit dalam. Edisi kelima. Jakarta: Interna
Publishing; 2009.h.78-90.
9. Anderson,
Price S, McCarty, Lorraine W. Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi ke-6 (2). Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2006.h.90-7.
10. Utomo,
Prayogo. Apresiasi penyakit pengobatan secara tradisional dan modern.
Jakarta: Penerbit Rineka Cipta; 2005.h.180-90.
11. Winoto
P. Pengobatan Alternatif.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius; 2003.h.200-12.
No comments:
Post a Comment