Tuesday, July 15, 2014

Rheumatoid Arthritis



Pendahuluan
            Di seluruh dunia berjuta orang pasti pernah mengalami masalah terhadap sendi dan tulangnya, masalah ini biasa dikenal dengan nama Arthritis yang merupakan peradangan pada sendi-sendi yang disertai dengan tanda inflamasi yang komplit. Terdapat berbagai jenis arthritis,  yang paling sering dijumpai adalah rheumatoid arthritis dan osteoarthritis. Secara ringkas rheumatoid arthritis adalah penyakit autoimun yang biasanya terdapat pada sendi-sendi di bagian jari-jemari dan pergelangan tangan. Sendi-sendi lain yang bisa juga terkena penyakit ini adalah bagian bahu, lutut dan kaki.
Rheumatoid arthritis memiliki etiologi, epidemiologi, patofisiologi tersendiri. Begitu juga dengan perawatan dan pencegahannya. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut tentang rheumatoid arthritis untuk meningkatkan pengetahuan siapapun yang membaca makalah ini tentang kedua penyakit tersebut. 

Anamnesis
Anamnesis adalah tanya jawab yang dilakukan antara dokter dan pasien guna untuk mendiagnosa penyakitnya. Anamnesis dibagi menjadi 2 macam yaitu alo anamnesis dan auto anamnesis. Auto anamnesis adalah tanya jawab antara dokter dan pasien sendiri, guna mendapatkan informasi tentang penyakit pasien sedangkan alo anamnesis adalah tanya jawab antara dokter dengan keluarga pasien, hal ini disebabkan karena pasien tidak bisa ditanyai seputar penyakitnya karena adanya berbagai alasan. Pada kasus ini anamnesis yang dilakukan adalah auto ananamnesis karena pasien sendiri dapat menjawab seputar penyakit yang ia derita.1,2

Anamnesa yang dijalankan melalui wawancara ini meliputi:
                        1.    Menanyakan identitas pasien
Nama                   : Nn. Y
Umur                   : 21 tahun
Jenis kelamin       : Perempuan
                        2.     Keluhan utama
Nyeri pada jari-jari tangan, dan ke 2 pergelangan tangan sudah berlangsung sejak 4 bulan yang lalu. Pasien juga mengatakan bahwa ibunya juga sering nyeri sendi terutama pada lutut kirinya.
                        3.    Keluhan penyerta
Ibu si pasien sering mengalami nyeri sendi terutama pada lutut kirinya.
                        4.    Riwayat penyakit sekarang
Mula-mula gejala awalnya bagaimana dan seperti apa?
Nyerinya seperti apa?
Hilang-timbul atau terus-menerus?
Menanyakan kepada pasien, apakah ia sudah berobat ke dokter atau belum? Sudah mengkonsumsi obat sebelumnya atau belum?
Bila sudah, obat (analgesik, DMRAD, dll) apa? Dan apakah keadaanya membaik atau memburuk?
Bila memburuk, efek sampingnya apa?
                        5.    Riwayat penyakit dahulu
Apakah sebelumnya pernah mengalami sakit seperti ini atau belum?
Jika pernah, berapa kali dalam setahun?
Adakah riwayat kelainan sendi atau tulang sebelumnya?
Adakah riwayat gout, arthritis, dan sebagainya?
Adakah riwayat penyakit serius lainnya?
Pernakah pasien menjalani operasi seperti penggantian sendi?
Riwayat pekerjaan : apa akibat sosial dari masalah sendi yang dialami?
                        6.    Riwayat penyakit keluarga
Dengan menanyakan penyusunan silsilah keluarga bayi tersebut, maka perihal hereditas dapat ditentukan.3
Adakah riwayat penyakit autoimun dalam keluarga?
Bagaimana pengaruh penyakit pada pekerjaan, keluarga, pasangan, dan anak?
                    Ibu pasien juga sering nyeri sendi terutama pada lutut kirinya.
 
Pemeriksaan Fisik1,2
a.       Menilai tanda-tanda vital
      Nadi, suhu, frekuensi pernapasan.
b.      Inspeksi
            - Kesadaran : kompos mentis (sadar penuh), apatis (keadaan kesadaran pasien dimana ia enggan berhubungan dengan lingkungan sekitar atau sikap acuh tak acuh), letargi (kesadaran pasien tampak lesu dan mengantuk), somnolen (kesadaran pasien yang selalu mau tidur saja tetapi dapat dibangunkan dengan rangsang nyeri, atau untuk makan minum, namun jatuh tertidur lagi), sopor/stupor (keadaan kesadaran pasien koma, berbaring dengan mata tertutup, tidak memberikan reaksi jika dibangunkan kecuali dengan rangsang nyeri), koma (kesadaran yang hilang sama sekali, dengan rangsang apapun tidak didapatkan lagi. Termasuk rangsang batuk atau muntah).2
          - Kulit: Perlu diperhatikan apakah ada parut luka (scar), perubahan warna, dan lipatan kulit abnormal.
           -  Bentuk: Apakah terdapat bengkak, benjolan, bentuk tulang bengkok.
       - Posisi: Berbagai kelainan sendi dan lesi saraf mengakibatkan deformitas (carilah deformitas dalam 3 bidang).
c.       Palpasi
            - Kulit: Teraba hangat/dingin, lembab/kering, sensoris normal/abnormal.
            - Jaringan lunak: benjolan, pulsasi.
          - Tulang dan sendi: bentuk luar, penebalan synovial, cairan sendi (menekan lembut di sekitar sendi MCP)
           - Nyeri tekan: sering kali diagnostik bila terlokalisir.
     Pada Pemeriksaan fisik didapatkan : tampak sakit ringan, kesadaran compos mentis, TTV dalam batas normal. Cor, pulmo, abdomen tidak ada kelainan. Status lokalis: PIP I-V dan MCP I-V tidak ada pembengkakan, teraba hangat, terdapat nyeri gerak (+) dan nyeri tekan (+). 

Pemeriksaan Penunjang
Tidak banyak berperan dalam diagnosis rheumatoid, namun dapat membantu bila terdapat keraguan atau untuk melihat prognosis gejala pasien. Dalam lebih dari 2 dekade terakhir ini diketahui bahwa berbagai penyakit rematik yang dianggap mempunyai dasar imunologik ternyata berkaitan dengan sistem hipokompatibilitas.
Sistem ini ditentukan oleh faktor genetik yang pada manusia dikenal sebagai HLA (Human Leukocyte Antygen) tertentu. Antigen HLA adalah molekul pada permukaan sel yang sifatnya ditentukan oleh gen respon imun yang sangat polimorfis yang letaknya pada suatu kompleks di kromosom No.6 manusia. Sampai saat ini, diketahui 2 jenis antigen HLA yang berbeda dalam struktur dan fungsi: 4
1.    Molekul HLA kelas I, yaitu HLA A, B, C dan lokus-lokus lain yang diekspresikan pada permukaan semua sel berinti dan berfungsi dalam presentasi antigen pada limfosit T sitotoksik (CD8+).
2.  Molekul HLA kelas II yaitu HLA-DR, DQ dan DP dan diekspresikan terutama pada makrofag dan sel T yang aktif dan berfungsi mempresentasikan antigen kepada limfosit T helper (CD4+).
Saat ini dapat dikatakan penggunaan pemeriksaan HLA dalam klinik masih terbatas. Pada banyak keadaan, antigen HLA yang berkaitan dengan penyakit juga terjadi relatif sering pada penduduk normal sehingga spesifitas penyakit berkurang. Disamping itu tidak semua pasien yang sakit mempunyai jenis HLA yang berkaitan dengan penyakitnya sehingga sensitifitasnya berkurang. Kaitan HLA dengan penyakit juga berbeda-beda pada berbagai etnik populasi. Penjelasan yang mungkin berkaitan dengan HLA yang bervariasi dan tidak lengkap ini adalah dengan ditemukannya beberapa alel HLA yang berbeda tetapi mempunyai sequensi (rentetan) asam amino polimorfis yang sama (hipotesis epitop bersama),
walaupun sekarang dapat dilakukan pemeriksaan HLA secara molekular, sehingga dapat dideteksi urutan asam amino yang berkaitan dengan penyakit, tetapi adanya frekuensi HLA tertentu yang tinggi dalam populasi normal masih membuat manfaatnya terbatas sebagai uji klinis. Walaupun begitu ada beberapa penyakit rematik yang dengan pemeriksaan HLA sekarang ini dapat merupakan informasi klinis yang berguna untuk diagnosis dan prognosis dan dapat berperan lebih besar pada pengobatan di masa yang akan datang.
1.      Pemeriksaan laboratorium4,5
a.       Cairan synovial
1)   Kuning sampai putih: derajat kekeruhan menggambarkan peningkatan jumlah sel darah putih; fibrin clot menggambarkan kronisitas.
2)  Mucin clot. Bekuan yang berat dan menurunnya viskositas menggambarkan penurunan kadar asam hyaluronat.
3) Leukosit 5.000-50.000/mm3, menggambarkan adanya proses inflamasi, didominasi oleh sel neutrophil (65%).
4)      Glukosa: normal atau rendah.
5)    Rheumatoid faktor positif, kadarnya lebih tinggi dari serum, berbanding terbalik dengan kadar komplemen cairan sinovium.
6) Penurunan kadar komplemen menggambarkan pemakaiannya pada reaksi imunologis.
7)      Peningkatan kadar IgG dan kompleks imun.
8)      Phagocites – neutrophils yang “difagosit” oleh kompleks imun.
b.      Darah tepi
1) Leukosit: normal atau meningkat (<12.000/mm3). Leukosit menurun bila terdapat splenomegali; keadaan ini dikenal sebagai Felty’s syndrome.
2)     Anemia normositer atau mikrositer, tipe penyakit kronis.
c.       Pemeriksaan Sero-imunologi
1)  Rheumatoid faktor + (IgM) - 75% penderita; 95% + pada penderita dengan nodul subkutan.
2)      Anti CCP antibodies positif telah dapat ditemukan pada AR dini.
3)  Antinuclear  antibodies positif (10%-50% penderita) dengan titer yang lebih rendah dibandingkan dengan Lupus Eritematosus Sistemik.
4)      Anti-DNA antibodies negatif.
5)   Peningkatan CRP, fibrinogen dan laju endap darah, menggambarkan aktivitas penyakit.
6)    Meningkatnya kadar alpha 1 dan alpha 2 globulin sebagai acute phase reactans.
7) Meningkatnya kadar γ-gobulin menggambarkan kenaikan/akselerasi dari katabolisme protein pada penyakit kronis.
8)   Kadar komplemen serum normal; menurunnya kadar komplemen dapat terjadi pada keadaan penyakit dengan gejala ekstra artikular yang berat seperti vaskulitis.
9)     Adanya circulating immune complexes – serta ditemukan pada penyakit dengan manifestasi sistemik.
                        2.     Pemerikasaan Gambaran Radiologik4
Pada awal penyakit tidak ditemukan, tetapi setelah sendi mengalami kerusakan yang berat dapat terlihat penyempitan ruang sendi karena hilangnya tulang  rawan sendi. Terjadi erosi tulang pada tepi sendi dan penurunan densitas tulang. Perubahan ini sifatnya tidak reversibel. Secara radiologik didapati adanya tanda-tanda dekalsifikasi (sekurang-kurangnya) pada sendi yang terkena.

Diagnosis
a)      Working diagnosis
 Rheumatoid arthritis.
b)     Differential diagnosis
Ø  Osteoarthritis2
        Gejala dan tanda osteoarthritis muncul sangat perlahan dan biasanya mengenai satu atau beberapa sendi saja. Sendi yang sering terkena adalah sendi lutut, panggul, vertebrae, sendi antar falang distal jari tangan, sendi karpometakarpal pertama, dan sendi tarsometatarsal pertama. Komplikasi yang umum adalah kaku sendi, dan  nyeri tekan yang dalam terutama pada pagi hari. Bunyi “ kretek-kretek”  akibat permukaan yang terpajan yang saling bergesekan sering terdengar pada kasus yang berat. Pemakaian sendi yang berulang-ulang seperti berjalan, menekuk kaki, bangun dari duduk dan sebagainya dapat menimbulkan rasa nyeri. Biasanya sendi agak membengkak dan mungkin terbentuk efusi ringan. Osteoarthritis ditandai dengan hipertrofi kartilago yang berhubungan dengan suatu peningkatan terbatas dari matriks makromolekul oleh kondriosit sebagai kompensasi dari perbaikan. Osteoarthritis terjadi sebagai kombinasi antara degradasi rawan sendi, remodeling tulang dan inflamasi cairan sendi.2
          Tulang rawan sendi merupakan sasaran utama dalam perubahan degeneratif pada Osteoarthritis. Tulang rawan sendi memiliki tempat yang strategis yaitu di ujung  tulang yang berfungsi untuk menjamin gerakan yang tanpa gesekan di dalam sendi karena adanya cairan sinovial dan di sendi sebagai penerima beban ke seluruh permukaan sendi sehingga tulang di bawahnya dapat benturan tanpa mengalami kerusakan.2 Kedua fungsi ini mengharuskan tulang rawan elastis dan memiliki daya renggang yang tinggi. Kedua ciri ini dihasilkan oleh 2 komponen yaitu kolagen tipe II dan proteoglikan. Tulang sendi pada orang dewasa tidak statis. Komponen matriks tulang yang haus digantikan dan diuraikan. Keseimbangan ini dipertahankan oleh kondrosit. Selain mensintesis matriks, kondrosit juga mengeluarkan enzim yang dapat menguraikan matriks.2
Oleh karena itu, kesehatan kondrosit dan kemampuan sel ini memelihara sifat essensial matriks tulang rawan menentukan integritas sendi. Beberapa penelitian membuktikan bahwa rawan sendi ternyata dapat melakukan perbaikan sendiri dimana kondrosit akan mengalami replikasi dan memproduksi matriks baru. Proses perbaikan ini dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan yaitu suatu polipeptida yang mengontrol proliferasi sel dan membantu komunikasi antar sel. Faktor ini menginduksi kondrosit untuk mensintesis asam deoksiribonukleat (DNA) dan protein seperti kolagen dan proteoglikan. Faktor pertumbuhan yang berperan adalah insuline-like growth factor (IGF-1), growth hormon, transforming growth factor β (TGF-β), dan coloni stimulating factors (CSFs). Faktor pertumbuhan seperti IGF-1 memegang peranan penting dalam proses perbaikan rawan sendi. Pada keadaan inflamasi, sel menjadi kurang sensitif terhadap IGF-1. Faktor pertumbuhan TGF-β mempunyai efek multipel pada matriks kartilago yaitu merangsang sintetis kolagen dan proteoglikan serta menekan stromelisin yaitu enzim yang mendegradasi proteoglikan, meningkatkan produksi prostagladin E2 (PGE2) dan melawan efek inhibisi dari sintesis PGE2 oleh interleukin-1 (IL-1). Hormon lain yang mempengaruhi sintesis komponen kartilago adalah testosteron, β-ekstradiol, platelet derivat growth factor (PDGF), fibroblast growth factor, dan kalsitonin. Peningkatan degradasi kolagen akan mengubah keseimbangan metabolisme rawan sendi. Kelebihan produk hasil degradasi matriks rawan sendi ini cenderung berakumulasi di sendi dan menghambat fungsi rawan sendi serta mengawali suatu respon imun yang menyebabkan inflamasi sendi. Perbandingan antara sintesis dan pemecahan matriks rawan sendi pada pasien OA kenyataannya lebih rendah dibanding normal yaitu 0,29 dibanding 1. Pada rawan sendi pasien OA (Osteoarthritis) juga terjadi proses peningkatan aktivitas fibriogenik dan penurunan aktivitas fibrinolitik. Proses ini menyebabkan terjadinya penumpukan tronbus dan kompleks lipid pada pembuluh darah subkondral yang menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan subkondral tersebut. Ini mengakibatkan dilepasnya mediator kimiawi seperti prostagladin dan interleukin yang selanjutnya menimbulkan bone angina lewat subkondral yang diketahui mengandung ujung syaraf yang sensibel yang menimbulkan rasa sakit. Penyebab rasa sakit itu dapat juga berupa akibat dari dilepasnya mediator kimiawi seperti kinin dan prostagladin yang menyebabkan radang sendi, peregangan tendon atau ligamentum, dan spasmus otot-otot ekstra artikuler akibat kerja yang berlebihan. Sakit pada sendi juga diakibatkan karena adanya osteofit yang menekan periosteum dan radiks saraf yang berasal dari medula spinalis serta kenaikan tekanan akibat statis vena intramedullar karena proses remodeling pada trabekula dan subkondrial.2
Peran makrofag di dalam cairan sendi juga penting yaitu apabila dirangsang oleh jejas mekanis, material asing hasil nekrosis jaringan akan memproduksi sitokin aktivator plasminogen (PA) yang disebut katabolin. Sitokin tersebut adalah IL-1, IL-6, TNF α, TNF β, dan interferon (INF) α.4 Sitokin-sitokin ini akan merangsang kondrosit melalui reseptor permukaan spesifik untuk memproduksi CSFs yang sebaliknya akan mempengaruhi monosit dan PA untuk mendegradasi rawan sendi secara langsung. Pasien OA mempunyai kadar PA yang tinggi pada cairan sendinya. Sitokin ini juga mempercepat resorpsi matriks tulang sendi. Interleukin-1 mempunyai efek multipel pada sel cairan sendi yaitu meningkatkan sintesis enzim yang mendegradasi rawan sendi yaitu stromelisin dan kolagenosa, menghambat proses sintesis dan perbaikan normal kondrosit. Kondrosit pasien OA mempunyai reseptor IL-1 dua kali lipat lebih banyak dibanding individu normal dan kondrosit sendiri dapat memproduksi IL-1 secara lokal. Faktor pertumbuhan dan sitokin tampaknya mempunyai pengaruh yang berlawanan selama perkembangan OA. Sitokin cenderung merangsang degradasi komponen matriks rawan sendi. Faktor pertumbuhan merangsang sintesis. Akantetapi IGF-1 pasien OA lebih rendah dibandingkan individu normal.2
Ø  Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
         Sama seperti RA, SLE adalah gangguan autoimun sistemik. Penyakit ini ditandai oleh adanya antibodi antinuklear. Manifestasinya bisa ditemukan pada berbagai organ sehingga gejala dan tandanya sangat banyak. Presentasi kliniknya termasuk ruam malar, atralgia, alopesia, perikarditis, gagal ginjal, defisit neurologis, atau bahkan gangguan psikiatrik, serta fotosensitif lupus eritematosus sistemik (SLE) ruam biasanya terjadi pada wajah atau ekstremitas, yang daerah terkena sinar matahari. Pada SLE, terdapat gejala non spesifik termasuk nyeri sendi, penurunan berat badan dan limfadenopati. Meskipun penyebab spesifik dari SLE tidak diketahui, beberapa faktor yang berhubungan dengan perkembangan penyakit, termasuk, ras, hormonal, dan lingkungan faktor genetik.gangguan kekebalan tubuh, baik bawaan dan diperoleh, terjadi pada SLE. SLE biasanya dapat dibedakan jika ada lesi kulit terpajan pada area terang, rambut rontok, lesi mukosa hidung dan mulut, adanya erosi sendi pada arthritis jangka panjang, cairan sendi yang seringkali sampai < 2000 leukosit / μL terutama mononuklear sel, antibodi terhadap DNA double-stranded, penyakit ginjal, dan serum komplemen yang rendah. Berbeda dengan RA, deformitas dalam SLE biasanya direduksi karena kurangnya erosi dan kerusakan pada tulang atau tulang rawan.Pada penderita SLE, pemeriksaan fisik dilakukan dengan melihat ada tidaknya: ruam malar yang ditandai oleh ruam erimatosa dan jembatan hidung (disebut ruam kupu-kupu), demam, anemia, limfadenopati, ulkus mulut, bengkak sendi (efusi dan nyeri tekan), takipnea (pertimbangan adanya hipertensi pulmonal, emboli paru, gagal ginjal disertai kelebihan cairan, efusi pleura, dan fibrosis paru), TD:periksa adanya hipertensi, gesekan perikard/pleural, edema pergelangan kaki, neuropati. Selain itu ditemukan pula defisit neurologis, termasuk defisit fokal dan gangguan kognitif; gangguan psikiatrik, khususnya psikosis dan urin: proteinuria dipstik, hematuria, dan silinder.6,7
Ø  Arthritis Gout
           Gout yang juga disebut pirai ini merupakan kelainan metabolisme purin bawaan yang ditandai dengan peningkatan kadar asam urat serum dengan akibat penimbunan kristal asam urat di sendi yang menimbulkan artritis urika akut. Berbeda dengan RA, penyakit ini lebih sering ditemukan pada pria dengan ratio 20:1. Biasanya menunjukkan gejala pada usia dewasa muda dengan puncaknya setelah berusia 40 tahun. Penyakit ini sering menyerang sendi perifer kaki dan tangan, dan tersering mengenai persendian meta tarso falangeal ibu jari kaki. Pada anamnesis, biasanya ditemukan keluhan sendi kemerahan disertai nyeri akut seringkali pada ibu jari kaki.Rasa sakit pada sendi dengan permulaan eksplosif dan khas menyerang sendi-sendi kecil terutama jari-jari kaki.Rasa sakit biasanya selalu berulang-ulang dengan sendi yang terkena bengkak, panas, kemerahan dan sakit, sering dijumpai thopi.Pada penderita seringkali terdapat batu ginjal. Pada pemeriksaan laboratorium, didapatkan kadar asam urat meningkat, ditemukannya Kristal-kristal asam urat dalam cairan synovial sendi yang terserang.7
          Stadium awal berupa serangan monoartikuler yang ditandai dengan nyeri sendi hebat karena artritis akut. Biasanya terdapat kemerahan, pembengkakan, nyeri tekan lokal dan sendi tidak dapat digerakkan. Arthritis akut ini disertai demam dan leukositosis serta gambaran gejala selulitis dan arthritis septik akut. Umumnya serangan berakhir dalam beberapa hari, akan tetapi serangan yang berat dapat menetap untuk beberapa minggu. Setelah beberapa tahun, 50% akan berkembang menjadi pirai bertophus. Tophus adalah nodul kecil yang terdiri dari kristal asam urat. Arthritis pirai kronik, ditandai dengan adanya pembengkakan dan kekakuan sendi. Pada stadium lanjut yang kronik ini serangan akut dapat terjadi. Pada foto rontgen, timbunan kristal asam urat murni memberi gambaran radiolusen sedangkan timbunan kalsium tampak radioopak. Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan hiperurisemia dan pada 50% penderita ditemukan kristal urat pada cairan sinovial atau tophus. Pada penderita penyakit ini, dapat dipakai obat urikosurik yaitu probenesid dan sulfinpirazon yang bekerja menghambat reabsorpsi asam urat di tubuli ginjal. Kadar asam urat dalam duktus kolektivus meninggi sehingga kemungkinan timbul batu ginjal menjadi lebih tinggi.Hal ini dapat diatasi dengan minum banyak. Kemudian bisa diberikan allupurinol yang menghambat enzim xantin oksidase sehingga mengurangi pembentukan asam urat. Kadar asam urat ini perlu diturunkan sampai di bawah 7 mg%. Dengan menurunnya kadar urat, maka tophi lambat laut akan menghilang.

Etiologi
Penyebab AR sampai sekarang belum diketahui. Beberapa faktor di bawah ini diduga berperan dalam timbulnya penyakit artritis rheumatoid. 8
                        1.     Faktor genetik dan lingkungan
Terdapat hubungan antara HLA-DW4 dengan AR seropositif yaitu penderita mempunyai resiko 4 kali lebih banyak terserang penyakit ini.
                        2.    Hormon seks
Faktor keseimbangan hormonal diduga ikut berperan karena perempuan lebih banyak menderita penyakit ini dan biasanya sembuh sewaktu hamil.
                        3.    Infeksi
Dugaan adanya infeksi timbul karena permulaan sakitnya terjadi secara mendadak dan disertai tanda-tanda peradangan. Penyebab infeksi diduga bakteri, mikoplasma, atau virus.
                        4.    Heat Shock Protein (HSP)
HSP merupakan sekelompok protein berukuran sedang yang dibentuk oleh tubuh sebagai respons terhadap stres.
                        5.     Radikal bebas
Contohnya radikal superokside dan lipid peroksidase yang merangsang keluarnya prostaglandin sehingga timbul rasa nyeri, peradangan dan pembengkakan.
                        6.    Umur
Penyakit ini terjadi pada usia 20-60 tahun, tetapi terbanyak antara umur 35-45 tahun.
Arthritis rheumatoid ini merupakan bentuk arthritis yang serius, disebabkan oleh peradangan kronis yang bersifat progresif, yang menyangkut persendian. Ditandai dengan sakit dan bengkak pada sendisendi terutama pada jari-jari tangan, pergelangan tangan, siku, dan lutut. Penyebab arthritis rheumatoid masih belum diketahui walaupun banyak hal mengenai patogenesisnya telah terungkap. Penyakit ini tidak dapat ditunjukkan memiliki hubungan pasti dengan genetik. Terdapat kaitan dengan penanda genetik seperti HLA-DW4 (Human Leukocyte Antigens) dan HLA-DR5 pada orang Kaukasia. Namun pada orang Amerika, Afrika, Jepang, dan Indian Chippewa hanya ditentukan kaitan dengan HLA-DW4. Destruksi jaringan sendi terjadi melalui dua cara. Pertama adalah destruksi pencernaan oleh produksi, protease, kolagenase, dan enzim hidrolitik lainnya. Enzim ini memecah kartilago, ligamen, tendon, dan tulang pada sendi, serta dilepaskan bersama – sama dengan radikal O2 dan metabolit asam arakidonat oleh leukosit polimorfonuklear dalam cairan sinovial. Proses ini diduga adalah bagian dari respon autoimun terhadap antigen yang diproduksi secara lokal Destruksi jaringan juga terjadi melalui kerja panus reumatoid. Panus merupakan jaringan granulasi atau vaskuler yang terbentuk dari sinovium yang meradang dan kemudian meluas ke sendi. Di sepanjang pinggir panus terjadi destruksi, kolagen, dan proteoglikan melalui produksi enzim oleh sel di dalam panus tersebut.8

Epidemiologi8
Pada kebanyakan populasi di dunia, prevalensi AR relative konstan yaitu berkisar antara 0.5-1%. Prevalensi yang tinggi dapat ditemukan di Pima Indian dan Chippewa Indian masing-masing sebesar 5.3% dan 6.8%. Prevalensi AR di India dan di Negara barat kurang lebih sama yaitu sekitar 0.75%. sedangkan di China, Indonesia, dan Philipina prevalensinya kurang dari 0.4%, baik di daerah urban maupun rural. Hasil survey yang dilakukan di Jawa Tengah mendapatkan prevalensi AR sebesar 0.2% di daerah rural dan 0.3% di daerah urban. Sedangkan penelitian yang dilakukan di Malang pada penduduk berusia diatas 40 tahun mendapatkan prevalensi AR sebesar 0.5% di daerah Kotamadya dan 0.6% di daerah kabupaten. Di Poliklinik Reumatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, kasus baru AR merupakan 4.1% dari seluruh kasus baru tahun 2000 dan pada periode Januari s/d Juni 2007 didapatkan sebanyak 203 kasus AR dari jumlah kunjungan 1.346 orangg (15.1%). Prevalensi AR lebih banyak ditemukan pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki dengan rasio 3:1 dan dapat terjadi pada semua kelompok umur, dengan angka kejadian tertinggi didapatkan pada decade keempat dan kelima.
Arthritis rheumatoid masih menjadi masalah kesehatan dunia, diperkirakan 0,5-1 % dari populasi global menderita AR. Peluang terjadinya penyakit hati pada penderita AR dua kali lebih besar dari yang tidak menderita. America Arthritis Fondation melaporkan, penderita AR berisiko dua kali lebih besar terkena penyakit jantung sehingga meningkatkan angka kematian penderita Cardiovascular dan infeksi. Lima puluh persen pasien AR mengalami kecacatan fungsional sementara setelah 20 tahun, 80 % cacat dan dapat mengurangi usia harapan hidup 3-18 tahun (Holm 2001).
Studi epidemiologi melaporkan berbagai faktor risiko yang dihubungkan dengan terjadinya penyakit AR, seperti faktor kerentanan terhadap penyakit dan faktor inisiasi yaitu faktor yang diduga meningkatkan risiko berkembangnya penyakit (DCD 2005).
Faktor kerentanan seperti :1) jenis kelamin; 2) Usia : Dapat terjadi pada usia muda 30-50 tahun, usia lanjut terutama pada wanita kasus AR meningkat; 3) Obesitas : memacu meningkatnya oksidan melalui berbagai mekanisme; 4) Genetik, keluarga yang memiliki anggota keluarga terkena AR memiliki risiko lebih tinggi, dan dihubungkan dengan gen HLA-DR4. Faktor inisiasi adalah perokok , infeksi bakteri atau virus menjadi inisiasi dari AR, pil kontrasepsi, gaya hidup : stres dan diet mengawali inflamasi sendi.

Patofisiologi8
Pada arthritis rheumatoid, reaksi autoimun (yang sudah dijelaskan sebelumnya) terutama terjadi dalam jaringan sinovial. Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim dalam sendi. Enzim-enzim tersebut akan memecah kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi membran sinovial dan akhirnya pembentukan pannus. Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah menghilangnya permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Otot akan terkena karena serabut otot akan mengalami perubahan degeneratif dengan menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan kontraksi otot.
Patogenesis8
Arthritis rheumatoid adalah penyakit peradangan kronik yang menyebabkan degenerasi jaringan ikat. Peradangan (inflamasi) pada AR terjadi secara terus-menerus terutama pada organ sinovium dan menyebar ke struktur sendi di sekitarnya seperti tulang rawan, kapsul fibrosa sendi, ligamen dan tendon. Inflamasi ditandai dengan penimbunan sel darah putih, pengaktifan komplemen, fagositosis ekstensif dan pembentukan jaringan granular. Inflamasi kronik menyebabkan hipertropi dan penebalan pada membran sinovium, terjadi hambatan aliran darah dan nekrosis sel dan inflamasi berlanjut (Wiralis 2008).
Inflamasi menyebabkan pelepasan berbagai protein sitokin. Sitokin memiliki fungsi antara lain memelihara keseimbangan tubuh selama terjadi respon imun, infeksi, kerusakan, perbaikan jaringan, membersihkan jaringan mati, darah yang membeku dan proses penyembuhan. Jika produksi sitokin meningkat, kelebihan sitokin dapat menyebabkan kerusakan yang serius pada sendi saat inflamasi AR. Sitokin yang berperan penting pada AR antara lain adalah IL-1, IL-6, TNF-α dan NO. Nitrit oksida, diketahui dapat menyebabkan kerusakan sendi dan berbagai manifestasi sistemik (Rahmat 2006).
Leukosit adalah bagian sistem imun tubuh yang secara normal dibawa ke sinovium dan menyebabkan reaksi inflamasi atau sinoviositis saat antigen berkenalan dengan sistem imun. Elemen-elemen sistem imun (gambar 1) dibawa ke tempat antigen, melalui peningkatan suplai darah (hiperemi) dan permeabilias kapiler endotel, sehingga aliran darah yang menuju ke lokasi antigen lebih banyak membawa makrofag dan sel imun lain (Fonnie 2007). Saat inflamasi leukosit berfungsi menstimulasi produksi molekul leukotriens, prostaglandin (membuka pembuluh darah dan meningkatkan aliran darah) dan NO (gas yang berperan dalam fleksibilitas dan dilatasi pembuluh darah, dalam jumlah yang tinggi merupakan substansi yang berperan besar pada berbagai kerusakan AR) (Visioli 2002).  Peningkatan permeabilitas vaskular lokal menyebabkan anafilatoksin (C3, C5). Local vascular pada endotel melepas NO dengan vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas vaskular, ekspresi molekul adhesi pada endothel, pembuluh darah, ekspresi molekul MHC kelas II dan infiltrasi sel neutrofil dan makrofag (Anonim 2010).
Inflamasi sinovial dapat terjadi pada pembuluh darah, yang menyebabkan hiperplasia sel endotel pembuluh darah kecil, fibrin, platelet dan inflamasi sel yang dapat menurunkan aktivitas vaskuler pada jaringan sinovial. Hal ini menyebabkan gangguan sirkulasi darah dan berakibat pada peningkatan metabolisme yang memacu terjadinya hipertropi (bengkak) dan hiperplasia (membesar) dan sel dalam keadaan hipoksia. Sel yang hipoksia dalam sinovium berkembang menjadi edema dan menyebabkan multiplikasi sel sinovial. Sel pada sinovium tumbuh dan membelah secara abnormal, membuat lapisan sinovium menebal, sehingga sendi membesar dan bengkak (Ackerman and Rosai 2005).
Berkembangnya fase penyakit, ditunjukkan dengan penebalan synovial membentuk jaringan yang disebut panus. Panus adalah lembaran/lapisan yang menebal membentuk granulasi. Panus dapat menyebar ke dalam sinovium sendi dan bersifat destrukstif terhadap elemen sendi (Bresnihan et al 1998). Interaksi antara antibodi dan antigen menyebabkan perubahan komposisi cairan sinovial, cairan sinovial kurang mampu mempertahankan fungsi normal dan bersifat agresif-destruktif. Respons dari perubahan dalam sinovium dan cairan sinovial, menyebabkan kerusakan sejumlah besar sendi dan jaringan lunak secara bertahap berdasarkan fase perkembangan penyakit (Ackerman and Rosai 2004). Destruksi yang terjadi pada tulang menyebabkan kelemahan tendon dan ligamen, perubahan struktur tulang dan deformitas sendi sehingga mempengaruhi aktivitas harian dan menghilangkan fungsi normal sendi.  Destruksi dapat terjadi oleh serangan panus (proliferasi sel pada lining sinovial) ke subkodral tulang. Destruksi tulang menyebabkan area hialin kartilago dan lining synovial tidak dapat menutupi tulang, sendi dan jaringan lunak (Hellman 2004 & Ackerman 2004).
      Tahap lebih lanjut, terjadi kehilangan struktur artikular kartilago dan menghasilkan instabilitas terhadap fungsi penekanan sendi, menyebabkan aktivitas otot tertekan oleh destruksi tulang, lebih jauh menyebabkan perubahan struktur dan fungsi sendi yang bersifat ireversibel dan dapat terjadi perubahan degeneratif terutama pada densitas sendi. Destruksi dapat menyebabkan terbatasnya pergerakan sendi secara signifikan, ditandai dengan ketidak stabilan sendi (Hellman 2004 & Ackerman 2004).

Gambaran klinis8
Ada beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada seseorang artritis reumatoid. Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada saat bersamaan oleh karena penyakit ini memiliki gambaran klinis yang sangat bervariasi.
            1.         Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan menurun dan demam. Terkadang kelelahan dapat demikian hebatnya.
            2.         Poliartritis simetris terutama pada sendi perifer: termasuk sendi-sendi di tangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalang distal. Hampir semua sendi diartrodial dapat diserang.
            3.         Kekakuan di pagi hari selama lebih dari 1 jam; dapat bersifat generalisata tetapi terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda dengan kekakuan sendi pada osteoartritis, yang biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit dan selalu berkurang dari satu jam.
            4.         Arthritis erosif; merupakan ciri khas penyakit ini pada gambaran radiologik. Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tepi tulang.
            5.         Deformitas; Kerusakan jaringan penungjang sendi meningkat dengan pejalanan penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari, subluksasi sendi metekarpofalangeal, deformitas boutonniere dan leher angsa adalah beberapa deformitas tangan yangsering dijumpai. Pada kaki terdapat protrusi (tonjolan) kaput metersal yang timbul sekunder dari subluksasi metatersal. Sendi-sendi yang besar juga dapat terserang dan mengalami pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam melakukan gerakan ekstensi.
            6.         Nodul-nodul reumatoid: adalah massa subkutan yang ditemukan padabsekitar sepertiga orang dewasa pasien artritis reumatoid. Lokasi yangbpaling sering dari deformitas ini adalah bursa olekranon (sendi siku) atau di sepanjang permukaan ekstensor dari lengan; walaupun demikian nodula-nodula ini dapat juga timbul pada tempat-tempat lainnya. Adanya nodula-nodula ini biasanya merupakan suatu petunjuk suatu penyakit yangbaktif dan lebih berat.
            7.          Manifestasi ekstra-artikular; arthritis rheumatoid juga dapat menyerang organ-organ lain di luar sendi. Jantung (perikarditis), paru-paru (pleuritis), mata, dan pembuluh darah dapat rusak.
Penatalaksanaan
Belum ada penyembuhan untuk AR. Penyakit ini biasanya berlangsung seumur hidup, sehingga memerlukan penanganan seumur hidup pula. Dalam pengobatan AR umumnya selau dibutuhkan pendekatan multidisipliner. Suatu tim yang idealnya terdiri dari dokter, perawat, ahli fisioterapi, ahli terapi okupasional, pekerja sosial, ahli farmasi, ahli gizi dan ahli psikologi, semuanya memiliki peranan masing-masing dalam pengelolaan pasien AR baik dalam bidang edukasi maupun penatalaksanaan pengobatan penyakit ini.

                        1.     Farmakologis8,9
Beberapa jenis obat yang digunakan pada AR antara lain sebagai berikut:
1)      Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS)
Obat ini diberikan sejak mulai sakit untuk mengatasi nyeri sendi akibat proses peradangan. Golongan obat ini tidak dapat melindungi rawan sendi maupun tulang dari proses kerusakan akibat penyakit AR.
Contoh obat golongan ini yaitu Asetosal, Ibuprofen, Natrium Diclofenak, Indometasin, Asam flufenamat, Piroksikam, Fenilbutason, dan Naftilakanon.
2)     Kortikosteroid
Obat ini berkhasiat sebagai antiradang dan penekan reaksi imun (imunosupresif), tetapi tidak bisa mengubah perkembangan penyakit AR. Kortikosteroid bisa digunakan secara sistemik (tablet, suntikan IM) maupun suntikan lokal di persendian yang sakit sehingga rasa nyeri dan pembengkakan hilang secara cepat. Pengobatan kortikosteroid sistemik jangka panjang hanya diberikan kepada penderita dengan komplikasi berat dan mengancam jiwa, seperti radang pembuluh darah (vaskulitis).
3)   Disease Modifying Anti Rheumatoid Drugs (DMARDs)/ Obat pengubah perjalanan penyakit
Bila diagnosis AR telah ditegakkan, oabt golongan ini harus segera diberikan. Beberapa ahli bahkan menganjurkan pemberian DMARDs, baik sebagai obat tunggal maupun kombinasi dengan DMARDs lain pada tahap dini, baru kemudian dikurangi secara bertahap bila aktivitas AR telah terkontrol. Bila penggunaan satu jenis DMARDs dengan dosis adekuat selama 3-6 bulan tidak menampakkan hasil, segera hentikan atau dikombinasi dengan DMARDs yang lain.
Contoh obat golongan ini yaitu Klorokuin, Hidroksiklorokuin, Sulfazalazine, Dpenisilamin, Garam Emas (Auro Sodium Thiomalate, AST), Methothexate, Cyclosporin-A dan Lefonomide.
4)     Obat imunosupresif
Obat ini jarang digunakan karena efek samping jangka panjang yang berat seperti timbulnya penyakit kanker, toksik pada ginjal dan hati. 
5)      Suplemen antioksidan
Vitamin dan mineral yang berkhasiat antioksidan dapat diberikan sebagai suplemen pengobatan seperti beta karoten, vitamin C, vitamin E, dan selenium.
Pembedahan dilakukan apabila rheumatoid arthritis sudah mencapai tahap akhir. Bentuknya dapat berupa tindakan arhthrodesis untuk menstabilkan sendi, arthoplasty atau total join replacement untuk mengganti sendi.

                        2.     Non farmakologis10,11
Perawatan dan pengobatan terhadap penyakit rheumatik adalah sebagai berikut:
1)      Herbal dan Jus Buah
Herbal yang digunakann untuk mengatasi arthritis rheumatoid adalah bawang putih, beluntas, daun sendok, gandarusa, jahe merah, kunyit, sambiloto, sembung, temulawak, dan sidaguri. Herbal-herbal tersebut mengandung berbagai macam antioksidan yang mencegah penyakit yang disebabkan oleh asam urat. Bawang putih mengandung alilin yang akan terpecah menjadi alisin dan berguna untuk menghancurkan endapan darah arteri menghilangkan nyeri (anti-inflamasi) dan diuretik. Beluntas mengandung flavonoid yang berfungsi menghilangkan nyeri akibat rematik, nyeri tulang, dan sakit pinggang. plantagin, aukubin, asam ursolik pada daun sendok berkhasiat menurunkan kadar asam urat dalam darah, diuretic, melarutkan endapan garam kalsium yang terdapat dalam ginjal dan kandung kencing. Justicin pada gandarusa berfungsi antirematik. Jahe merah, temulawak dan kunyit memiliki minyak atsiri, gingerol, kurkumin, berkhasiat untuk melancarkan peredaran darah, anti inflamasi, dan menghilangkan nyeri rematik (Agromedia 2008). Berikut tabel bermacam-macam buah yang berguna untuk mengatasi rematik:
2)     Pengaturan aktivitas dan istirahat. Pada kebanyakan penderita, istirahat secara teratur merupakan hal penting untuk mengurangi gejala penyakit. Pembebatan sendi yang terkena dan pembatasan gerak yang tidak perlu akan sangat membantu dalam mengurangi progresivitas inflamasi. Namun istirahat harus diseimbangkan dengan latihan gerak untuk tetap menjaga kekuatan otot dan pergerakan sendi.11
3)      Diet
Untuk penderita rheumatoid arthritis disarankan untuk mengatur dietnya. Diet yang disarankan yaitu asam lemak omega-3 yang terdapat dalam minyak ikan.11

Komplikasi8
Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus peptikum yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit (desease modifying antirhematoid drugs, DMARD) yang menjadi faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada arthritis rheumatoid. Komplikasi saraf yang terjadi memberikan gambaran jelas, sehingga sukar dibedakan akibat lesi artikuler dan lesi neuropatik. Umumnya berhubungan dengan myelopati akibat ketidakstabilan vertebra vertical dan neuropati iskemik akibat vaskulitis.

Prognosis8,10
Pada umumnya pasien arthritis rheumatoid akan mengalami manifestasi penyakit yang bersifat monosiklik (hanya mengalami satu episode arthritis reumatoid dan selanjutnya akan mengalami remisi sempurna). Tapi sebagian besar penyakit ini telah terkena artritis reumatoid akan menderita penyakit ini selama sisa hidupnya dan hanya diselingi oleh beberapa masa remisi yang singkat (jenis polisiklik). Sebagian kecil lainnya akan menderita arthritis reumatoid yang progresif yang disertai dengan penurunan kapasitas fungsional yang menetap pada setiap eksaserbasi.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa penyakit ini bersifat sistemik. Maka seluruh organ dapat diserang, baik mata, paru-paru, jantung, ginjal, kulit, jaringan ikat, dan sebagainya. Bintik-bintik kecil yang berupa benjolan atau noduli dan tersebar di seluruh organ di badan penderita. Pada paru-paru dapat menimbulkan lung fibrosis, pada jantung dapat menimbulkan pericarditis, myocarditis dan seterusnya. Bahkan di kulit, nodulus rheumaticus ini bentuknya lebih besar dan terdapat pada daerah insertio dan otot-otot atau pada daerah extensor. Bila RA nodule ini kita sayat secara melintang maka kita akan dapati gambaran: nekrosis sentralis yang dikelilingi dengan sebukan sel-sel radang mendadak dan menahun yang berjajar seperti jeruji roda sepeda (radier) dan membentuk palisade. Di sekitarnya dikelilingi oleh deposit-deposit fibrin dan di pinggirnya ditumbuhi dengan fibroblast. Benjolan rematik ini jarang dijumpai pada penderita RA jenis ringan. Disamping hal-hal yang disebutkan di atas gambaran anemia pada penderita RA bukan disebabkan oleh karena kurangnya zat besi pada makanan atau tubuh penderita. Hal ini timbul akibat pengaruh imunologik, yang menyebabkan zat-zat besi terkumpul pada jaringan limpa dan sistema retikulo endotelial, sehingga jumlahnya di daerah menjadi kurang. Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gratitis dan ulkus peptik yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit (desease modifying antiremathoid drugs, DMARD) yang menjadi faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada artritis reumatoid. Komplikasi saraf yang terjadi tidak memberikan gambaran jelas, sehingga sukar dibedakan antara akibat lesi artikular dan lesi neuropatik. Umumnya berhubungan dengan mielopati akibat ketidakstabilan vertebra servikal dan neuropati iskemik akibat vaskulitis.
Prediktor prognosis buruk pada stadium dini AR antara lain : skor funsional yang rendah, status sosial ekonomi rendah, tingkat pendidikan rendah, ada riwayat keluarga dekat menderita AR, melibatkan banyak sendi, nilai CRP atau LED tinggi saat permulaan penyakit, RF atau anti CCP positif, ada perubahan radiologis pada awal penyakit, ada nodul rheumatoid/manifestasi ekstraartikular lainnya.8
Sebanyak 30% penderita AR dengan manifestasi penyakit sudah mendapat berbagai macam terapi. Sedangkan penderita dengan penyakit lebih ringan memberikan respon yang baik dengan terapi. Penelitian yang dilakukan oleh Lindqvist dkk pada penderita AR yang mulai tahun 1980-an, memperlihatkan tidak adanya peningkatan angka mortalitas pada 8 tahun pertama sampai 13 tahun setelah diagnosis. Rasio keseluruhan penyebab kematian pada penderita AR dibandingkan dengan populasi umum adalah 1.6. Tetapi  hasil ini mungkin akan menurun setelah penggunaan jangka panjang DMARD terbaru.8      

Pencegahan8
Walaupun hingga kini belum berhasil didapatkan suatu cara pencegahan dan pengobatan AR yang sempurna, saat ini pengobatan pada pasien AR ditujukan untuk:
a.       Menghilangkan gejala inflamasi aktif baik lokal maupun sistemik
b.      Mencegah terjadinya destruksi jaringan
c.  Mencegah terjadinya deformitas dan memelihara fungsi persendian agar tetap dalam keadaan baik
d.      Mengembalikan kelainan fungsi organ dan persendian yang terlibat agar sedapat mungkin menjadi normal kembali.

Kesimpulan
Arthritis rhematoid merupakan penyakit inflamasi sistemik kronik dengan manifestasi utama poliartritis progresif dan melibatkan seluruh organ tubuh. Terlibatnya sendi pada pasien arthritis rheumatoid terjadi setelah penyakit ini berkembang lebih lanjut sesuai dengan sifat progresifitasnya. Pasien dapat juga menunjukkan gejala berupa kelemahan umum cepat lelah. Biasanya gejala timbul perlahan-lahan seperti lelah, demam, hilangnya nafsu makan, turunnya berat badan, nyeri, dan kaku sendi. Oleh karena itu, penderita Arthritis Rheumatoid seringkali datang dengan keluhan arthritis yang nyata dan tanda-tanda keradangan sistemik.
Meskipun penderita arthritis rheumatoid jarang yang sampai menimbulkan kematian, namun apabila tidak segera ditangani dapat menimbulkan gejala deformitas/cacat yang menetap. Selain itu karena penyakit ini bersifat kronis dan sering kambuh, maka penderita akan mengalami penurunan produktivitas pekerjaan karena gejala dan keluhan yang timbul menyebabkan gangguan aktivitas fisik, psikologis, dan kualitas hidup menderita. Prognosis untuk kehidupan penderita tidak membahayakan, akan tetapi kesembuhan penyakit sukar tercapai.
Tujuan pengobatan adalah menghasilkan dan mempertahankan remisi atau sedapat mungkin berusaha menekan aktivitas penyakit tersebut. Tujuan utama dari program terapi adalah meringankan rasa nyeri dan peradangan, mempertahankan fungsi sendi dan mencegah dan/atau memeperbaiki deformitas.

Daftar pustaka
1.  Suarjana I N. Arthritis rheumatoid. Dalam: Sudoyo A W, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed. V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.2495-2511.
2.      Baughman D C, Hackley J C. Keperawatan medical bedah. Jakarta : EGC; 2000.h.49.
3.  Gleadle J. At A Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2007.h.215-16.
4.   Prout B J, Cooper J G. Pedoman praktis diagnosis klinik. Edisi ke-2. Jakarta: Binarupa Aksara; 2002.h.228-31
5.      Carter MA. Rheumatoid arthritis, ostoearthritis dalam Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Ed 6. Jakarta. ECG; 2006.h.1380-9.
6.      Junadi P, Soemasto AS, Amelz H. Kapita selekta kedokteran. Ed 2. Jakarta: Media Aesculapius; 1982.h.143-56.
7.  Gunadi, Rachmat W. Diagnosis & Terapi Penyakit Rheumatik. Bandung: Sagung Seto; 2006.h.57-60.
8.      Sudoyo A W, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Ilmu penyakit dalam. Edisi kelima. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.78-90.
9.  Anderson, Price S, McCarty, Lorraine W. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi ke-6 (2). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006.h.90-7.
10.  Utomo, Prayogo.  Apresiasi  penyakit  pengobatan secara tradisional dan modern. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta; 2005.h.180-90.
11.  Winoto P. Pengobatan Alternatif. Yogyakarta: Penerbit Kanisius; 2003.h.200-12.

No comments:

Post a Comment